Article Image

SAGA

Zero Waste, Ubah Salak Jadi Aneka Rupa

Buah Salak di Kebun Desa Sibetan, Karangasem, Bali (Foto: KBR)

Salak adalah buah khas Bali. Putu Gede Asnawa Dikta membuat salak naik kasta dengan mengolah semua bagiannya dari buah hingga kulit menjadi berbagai rupa produk. Jurnalis KBR Dwi Reinjani bertemu Putu Gede Asnawa Dikta di Desa Sibetan, Karangasem, Bali.

 

Tak habis di situ, daging buah salak pun dibuat semirip mungkin dengan kurma. Kurma salak ini dibuat dari daging buah yang kualitasnya tak masuk hitungan produksi.

“Salak diolah dari daging buah yang kualitasnya kurang baik, kemudian difermentasi sehingga memiliki tekstur, warna dan rasa menyerupai kurma,” katanya.

Melihat ada secercah harapan dari buah yang satu ini, petani pun akhirnya mendukung langkah Abian Salak. Karena menjual olahan salak dinilai lebih menguntungkan, ketimbang hanya buah saja.

“Mereka sangat antusias untuk kembali. Kemudian melalui pengolahan produk pasca panen, melalui produk-produk terbarukan ini masyarakat mulai semakin bersemangat,” katanya.

red

Mengubah buah salak dengan memanfaatkan semua unsur buahnya rupanya tak sesulit yang dibayangkan. Putu Ariniti misalnya. Selain mendapatkan pengetahuan baru, ia juga bisa membantu perekonomian keluarga.

“Kerjanya di sini tidak begitu sulit. Saya di sini hanya membuat kurma, ringan-ringan saja. Kalau penghasilannya secukupnya, karena saya sendiri suami saya sudah tidak ada. Jadi saya mencari penghasilan makan sendiri,” katanya.

Walau begitu, kreasi baru atas panen salak tak ada artinya jika tak menemukan pembeli baru. Di era saat ini, platform digital dipilih sebagai jalan keluar. Asnawa membuka pintu bagi lebih banyak lagi konsumen untuk Abian Salak dan tentu pundi-pundi baru bagi para petani di sana.

“Kesulitan adalah meyakinkan bahwa produk ini aman. Oleh itulah kami tempuh jalur riset sehingga muncul kandungan antisianin, karbohidrat, antioksidan dan segala macam, kemudian kami balut dengan packaging. Jadi kami coba buatkan webside, kemudian di Instagram, Facebook. Kami coba ikuti di beberapa expo. Pada intinya sampai detik ini, produk-produk Abian Salak mulai diminati masyarakat,"kata Asnawa

 

Selain soal strategi produk dan marketing digital, ternyata Putu Gede Asnawa dan I Nyoman Mastra punya mimpi lain yakni mengembangkan pusat informasi, hingga museum salak agar produk asli Bali ini tak mudah diklaim oleh daerah atau negara lain.

“Kami bersama pengelola Argo Wisata Abian Salak coba mengkonsep museum salak. Jadi intinya untuk mengajak anak muda sangat mudah, karena mereka memiliki jiwa interest,” katanya.

Apalagi salak di Sibetan ini ada 12 jenis. Menurut Gede Mastra Yang paling bagus adalah Salak Gula Pasir disusul Salak Gondok, Salak Nangka, Salak Nanas, Salak Merah, Salak Penyalin, Salak Kelapa dan Salak Pade.

“Yang paling manis salak gula pasir. Harga jualnya juga tinggi, bisa 40 ribu rupiah per kilogram,” katanya.

Sejumlah tim di Abian Salak juga melakukan riset pada kandungan salak. Ini dilakukan untuk meyakinkan konsumen, bahwa salak banyak manfaatnya, dan tentu meningkatkan perekonomian petani.

“Kami riset ternyata kandungan anti oksidannya tinggi, sehingga ini berpotensi menjadi salah satu kadar antisianin untuk menanggulangi kanker. Sehingga ini menjadi salah satu branding, jadi produk selain bermanfaat juga memiliki kandungan ilmiah yang bermanfaat,” ujar Asnawa. 

<tr>

	<td>Reporter</td>


	<td>:</td>


	<td>Dwi Reinjani<br>
</tr>


<tr>

	<td>Editor</td>


	<td>:</td>


	<td>Friska Kalia&nbsp;<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></td>

</tr>