BERITA

Pakar: Presiden Tak Boleh Cabut Perda Diskriminatif, Itu Otoriter

""Jangan suruh presiden mencabut. Justru kalau menyuruh presiden mencabut, kita ingin kembali ke otoriterianisme dan sentralisme.""

Pakar: Presiden Tak Boleh Cabut Perda Diskriminatif, Itu Otoriter
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam diskusi publik 'Jalan Pasti Sistem Politik dan Pemilu di Indonesia' di Jakarta, Senin (5/8/2019). (Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)

KBR, Jakarta- Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif tak bisa dicabut lewat Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) yang rencananya bakal dibentuk Presiden Jokowi.

"Kalau soal Perda bermasalah kan bisa diajukan judicial review di MA (Mahkamah Agung) menurut UUD dan putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Justru kalau diserahkan kepada presiden, jadi diskriminatif nanti, presiden terlalu over power," kata Refly Harun kepada KBR, Rabu (14/9/2019).

"Jangan suruh presiden mencabut. Justru kalau menyuruh presiden mencabut, kita ingin kembali ke otoriterianisme dan sentralisme," tegasnya lagi.


Perda Diskriminatif Bisa Diuji di MA

Sebelumnya, wacana tentang urgensi pencabutan Perda diskriminatif dilontarkan oleh Setara Institute. Dalam risetnya, mereka menemukan ada puluhan Perda yang merugikan berbagai kelompok warga.

"Di Jabar (Jawa Barat) misalnya, Perda khusus terkait Ahmadiyah ini betul-betul kemudian mendorong atau mengakselerasi praktik intoleransi terhadap Ahmadiyah, terlepas dari kontroversi Ahmadiyah. Misalnya, bahwa mereka adalah saudara sebangsa, tentu saja kita semua sebagai orang yang memiliki kepedulian sama terhadap konstitusi tidak bisa tinggal diam," ujar Direktur Setara Institute Ismail Hasani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/9/2019).

Dalam konteks itu, pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat masalah Perda diskriminatif harusnya diselesaikan di Mahkamah Agung (MA).

"Karena kan mereka (Pemda) punya mandat, perkara kita anggap bahwa Perda mereka diskriminatif, ya itu soal lain. Itu soal yang bisa diuji di Mahkamah Agung, karena itu aturannya," jelas Refly kepada KBR, Rabu (14/8/2019).


Editor: Rony Sitanggang

  • perda diskriminatif
  • Setara Institute
  • Mahkamah Agung

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!