BERITA

MPR Ingin Tambah Kewenangan, Perlu Diwaspadai atau Tidak?

MPR Ingin Tambah Kewenangan, Perlu Diwaspadai atau Tidak?

KBR, Jakarta- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tengah berupaya menambah kewenangan   lewat amandemen UUD 1945.

Penambahan kewenangan itu rencananya akan dilakukan dengan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Adanya GBHN yang memuat kisi-kisi arah pembangunan negara jangka panjang dapat menjadi panduan arah pembangunan nasional yang berkesinambungan," kata Sekretaris Fraksi PAN MPR RI Saleh Partaonan Daulay di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (12/8/2019).

"Tanpa adanya GBHN, kelemahannya ketika ganti presiden maka arah pembangunan nasional juga berganti, sehingga arah pembangunan Indonesia jadi tidak konsisten," tambah Saleh.

Saleh juga mengusulkan agar pimpinan MPR RI ditambah menjadi 10 orang, sembilan orang dari fraksi-fraksi partai politik dan satu orang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

"MPR harus dijadikan sebagai lembaga politik kebangsaan dimana semua fraksi dan kelompok menyatu. Di MPR mestinya tidak ada koalisi dan oposisi, tetapi justru yang perlu ditekankan adalah NKRI," kata Saleh lagi.


Mengingatkan pada Orde Baru

Wacana penguatan wewenang MPR dan penghidupan kembali GBHN mengingatkan akan realitas politik pada era Orde Baru.

Di era Orde Baru, MPR memang menjadi  lembaga tertinggi negara. Saat itu, MPR menjadi lembaga tunggal yang berwenang menentukan haluan negara. MPR juga berhak memberhentikan presiden apabila kinerjanya dinilai menyimpang dari GBHN.

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN) menyebut kondisi itu sebagai supremasi parlemen.

Dalam artikel penelitiannya yang dipublikasikan Jurnal Sosial Humaniora (2017), ia menjelaskan:

"MPR (saat Orde Baru) sebetulnya merupakan salah satu varian dari gagasan supremasi parlemen. Paling tidak terdapat tiga hal jika suatu negara menganut supremasi parlemen, yakni pertama, negara tersebut memiliki lembaga negara tertinggi. Kedua, lembaga tersebut menjalankan fungsi parlemen. Ketiga, segala keputusannya tidak dapat dibatalkan atau diubah oleh lembaga negara lainnya," jelas Efriza.


Supremasi Parlemen = Pemerintahan Otoriter

Menurut Efriza, supremasi parlemen itu umumnya buruk bagi perkembangan demokrasi.

"Sejarah menegaskan, negara yang menerapkan gagasan supremasi parlemen dalam sistem politiknya, secara umum ternyata menghasilkan pemerintahan otoritarian," jelas Efriza.

"Otoritas kekuasaan tertinggi negara menjadi tidak terkontrol sehingga apapun keputusannya tidak bisa dibantah, mengakibat seringkali terjadi kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan," jelasnya lagi.

Menurut Efriza, negara-negara yang menganut supremasi parlemen sebagian besarnya belum tersentuh demokratisasi, seperti Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Cina, Republik Sosialis Vietnam, dan Korea Utara.

"Struktur kekuasaan di negara-negara tersebut hanya melahirkan pemerintahan yang sentralistis, diktator, dan otoritarian," jelas Efriza.

Karena itu Efriza menekankan, amandemen keempat UUD 1945, yang membatasi kewenangan MPR dan masih berlaku hingga sekarang, adalah kemajuan dalam demokrasi Indonesia.

"Sebab, selama menerapkan gagasan supremasi parlemen dengan MPR sebagai otoritas tertinggi, selalu melahirkan pemerintahan diktator," tulis Efriza.


Penguatan Wewenang Harusnya untuk DPD

Efriza lantas mengusulkan, seandainya amandemen kelima UUD 1945 hendak dilakukan, sebaiknya penguatan wewenang diberikan untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurutnya, penguatan wewenang DPD diperlukan agar bisa saling kontrol dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Jadi jika dalam mengambil suatu keputusan, misalnya impeachment terhadap presiden atau membuat suatu perubahan UUD 1945, harus mendapat persetujuan keduanya, DPR dan DPD," jelas Efriza.

Editor: Rony Sitanggang

  • MPR
  • GBHN
  • amandemen UUD 1945

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!