BERITA

MA Menangkan Gugatan Korban Konflik Maluku, Pemerintah Harus Ganti Rugi Rp3,9 Triliun

"Pemerintah harus ganti rugi, tapi MA tidak memberi tenggat waktu untuk pembayarannya."

Heru Haetami, Adi Ahdiat

MA Menangkan Gugatan Korban Konflik Maluku, Pemerintah Harus Ganti Rugi Rp3,9 Triliun
Anggota TNI mengawasi sebuah desa yang hancur karena pertempuran antara Muslim dan Kristen di Ambon, Provinsi Maluku (14/1/2000). (Foto: HD Centre/AP Photo/Achmad Ibrahim)

KBR, Jakarta- Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) pemerintah Indonesia dalam kasus gugatan korban konflik Maluku. Artinya, kini pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar Rp3,9 triliun.

Juru bicara MA Abdullah menegaskan uang itu tak harus diberikan secara tunai. Pemerintah bisa membayar ganti rugi dengan membangun kembali fasilitas-fasilitas yang rusak akibat kerusuhan.

"Tentunya pemerintah tidak seperti membayar, membeli barang, tetapi kan harus dianggarkan, harus ada perencanaan. Jadi jangan diartikan membayar langsung tunai, tetapi pemerintah pasti akan mengalokasikan anggaran untuk membangun kembali, tanpa diperintah oleh siapa pun. Pemerintah pasti membangun," kata Abdullah saat ditemui di Gedung MA, Jakarta, Senin (19/8/2019).

Hanya saja, MA tidak memberi tenggat waktu pembayaran. Artinya, ganti rugi itu bisa diberikan kapan saja tergantung kehendak pemerintah.

"Untuk percepatan supaya dibangun sendiri-sendiri atau bagaimana kita belum tahu. Itu semua kebijakan pemerintahan," kata Abdullah.


Mengingat Konflik Maluku

Konflik Maluku terjadi pada tahun 1999. Menurut penelitian Centre for Humanitarian Dialogue, konflik ini berawal dari perselisihan antara seorang pemuda Kristen dengan seorang pemuda Muslim dari desa berbeda.

Seiring waktu, konflik personal itu melebar jadi konflik antar desa, dan meluas lagi hingga jadi konflik antara komunitas agama Kristen dan Muslim.

Konflik bahkan terus menjalar hingga ke kalangan aparat negara. Sejumlah personel TNI dan Polri yang awalnya ditugaskan untuk mengamankan, pada kelanjutannya malah menunjukkan keberpihakan hingga ikut terlibat konflik.

Menurut Centre for Humanitarian Dialogue, ada juga aparat yang memasok senjata dan amunisi untuk masyarakat sipil yang bertikai.

Dalam catatan Centre for Humanitarian Dialogue, konflik ini merenggut sekitar 5.000 nyawa, mengungsikan sepertiga penduduk Maluku dan Maluku Utara, serta menghancurkan banyak rumah, gereja dan masjid.

Konflik akhirnya reda setelah beberapa kali upaya mediasi, yang ditandai dengan penandatanganan Piagam Malino I tahun 2001 dan Malino II tahun 2002.


Gugatan Korban Konflik Maluku

Lama setelah konflik usai, sekitar 200 ribu Kepala Keluarga (KK) korban konflik Maluku mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok atau class action pada tahun 2011.

Adapun yang menjadi pihak tergugat adalah pemerintah dari ranah eksekutif, mulai dari Presiden RI saat itu (Soesilo Bambang Yudhoyono), segenap jajaran menterinya dan pemerintah daerah terkait. 

Para korban menggugat pemerintah karena lalai menciptakan situasi kondusif selama periode konflik. Pemerintah pun digugat lamban dalam menyalurkan dana pemulihan pascakonflik.

Para korban menuntut pemerintah membayar ganti rugi, di antaranya berupa uang pembangunan rumah Rp15 juta dan uang tunai Rp3,5 juta untuk tiap-tiap KK.

Gugatan para korban lantas dikabulkan sebagian oleh pengadilan pada tahun 2012. Namun, tahun 2015 pemerintah mengajukan banding, dan tahun 2019 pemerintah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Setelah hampir satu dekade terkatung-katung, MA akhirnya resmi menolak PK pemerintah pada 31 Juli 2019. Artinya, kini ratusan ribu korban konflik Maluku sudah memenangkan gugatan, hanya tinggal menunggu ganti rugi yang dijanjikan.

Editor: Agus Luqman

  • konflik maluku
  • konflik sosial
  • konflik agama
  • Mahkamah Agung

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!