BERITA

LBH Papua: 74 Tahun Merdeka, Indonesia Belum Bebas dari Rasisme

LBH Papua: 74 Tahun Merdeka, Indonesia Belum Bebas dari Rasisme

KBR, Jakarta- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menilai, sejak awal merdeka hingga sekarang Indonesia belum bersih dari praktik rasisme.

Penilaian itu didasarkan pada perilaku aparat terhadap mahasiswa Papua dalam insiden yang terjadi beberapa hari belakangan di Malang dan Surabaya, Jawa Timur (Jatim).


Bentrok Mahasiswa Papua dengan Aparat

Pada Kamis (15/8/2019), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua di Malang menggelar unjuk rasa menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia.

Unjuk rasa kemudian berujung ricuh, dan sejumlah mahasiswa Papua yang terlibat aksi mengaku dianiaya oleh aparat berpakaian preman.

Setelahnya, pada Jumat (16/8/2019) aparat keamanan bersama massa Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP) menggeruduk asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Massa menuduh mereka mematahkan tiang bendera merah putih, tanpa bukti yang jelas.

Pada Sabtu (17/8/2019) polisi lantas menerobos masuk asrama dan menangkap 43 mahasiwa Papua yang berlindung di sana.

"(Berbagai insiden tersebut) menjadi bukti masih hidupnya penyakit rasisme dalam tubuh aparatus negara dan Warga Negara Indonesia," tutur Direktur LBH Papua Emanuel Gobay dalam rilis yang diterima KBR, Senin (19/8/2019).


Aparat Melanggar Hukum

Menurut Direktur LBH Papua Emanuel Gobay, dalam penanganan insiden-insiden di atas, aparat negara telah melanggar UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, serta sejumlah aturan pidana lain.

"Pada prinsipnya, secara hukum, berkaitan lambang negara secara jelas telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. Jika terjadi perusakan terhadap lambang negara, salah satunya bendera, maka prosedurnya adalah melaporkan kepada pihak terkait, dalam hal ini pihak kepolisian," jelas Emanuel.

"Namun berdasarkan fakta, di mana ada oknum TNI, Polisi, Pol PP, dan Ormas, tanpa memastikan siapa pelakunya langsung mendatangi asrama mahasiswa papua di Surabaya dan melakukan tindakan main hakim sendiri," lanjutnya.

"Melalui fakta adanya kekerasan, maka secara otomatis Aparatus Negara juga telah melakukan beberapa tindak pidana secara berturut-turut baik secara bersama-sama maupun sendiri, seperti tindak pidana perusakan (406 KUHP), pengeroyokan (170 KUHP), penganiayaan (351 KUHP), dan pelanggaran Asas Umum Pemerintahan yang baik sebagaimana dijamin dalam  UU No 28 Tahun 1999," papar Emanuel dalam rilisnya.


Tim Khusus Anti Rasisme

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay lantas meminta pemerintah untuk membentuk Tim Khusus Anti-Rasisme terhadap orang asli Papua di seluruh Wilayah Indonesia. Ia menuntut pemerintah untuk:

    <li>Mendata dan mengidentifikasi kasus pelanggaran diskriminasi ras yang dialami orang asli Papua di manapun berada, khususnya Malang dan Surabaya.</li>
    
    <li>Mendata identitas pelaku, mendata bentuk pelanggaran, dan mendorong penegakan hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku.</li>
    
    <li>Melaporkan dugaan Pelanggaran HAM yang dilakukan Pemprov Jatim terhadap mahasiswa Papua ke Komnas HAM Republik, dan mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi.</li>
    
    <li>Mendesak Pemprov Jatim untuk membuat Peraturan Gubernur tentang jaminan perlindungan orang asli Papua dari ancaman tindakan rasisme dan tindakan kekerasan sebagai implementasi UU Nomor 40 Tahun 2008.</li></ol>
    

    Emanuel juga mendesak pemerintah agar menangkap pelaku tindakan rasisme baik yang berasal dari TNI, Polri, Pol PP, maupun Ormas.

    "Sekalipun langit bumi Surabaya akan retak karena rasisme, namun hukum wajib ditegakkan di bumi hiu dan buaya itu," tandas Emanuel.

    Editor: Agus Luqman

  • papua
  • rasisme

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!