BERITA

7 Alasan Tolak RKUHP Menurut ICJR

"Menurut ICJR, RKUHP berisi pasal-pasal yang lebih represif dari hukum penjajah."

Heru Haetami, Adi Ahdiat

7 Alasan Tolak RKUHP Menurut ICJR
Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta. (Foto: www.kemendagri.go.id)

KBR, Jakarta- DPR bersikukuh akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam sisa masa baktinya yang hanya tinggal dua bulan. 

"Dalam proses penyelesaian sebuah UU, kami DPR tidak bisa dipaksa, disuruh atau ditahan atau dipercepat. Tidak bisa! Kami bekerja secara profesional, biar saja ini proses bergulir. Dan target pencapaian penyelesaian UU memang sudah jadi target kami di Komisi III di masa bakti sekarang," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Herman Hery di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Menurut Herman, pembahasan RKUHP sudah tidak ada yang krusial. Ia juga mengaku sudah mendengar masukan dari masyarakat.

"Ya tentu kami DPR ini kan wakil rakyat, masukan masyarakat boleh-boleh saja. Masyarakat kan juga macam-macam, masyarakat yang mana? Yang mewakili siapa? Kami juga wakil rakyat kami juga mendengar semua masukan," ujar Herman.


RKUHP Masih Sangat Bermasalah

Berbeda dengan Herman, berbagai lembaga dan organisasi sipil menilai RKUHP masih banyak bermasalah.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, menilai ada tujuh alasan yang membuat RKUHP tidak boleh buru-buru disahkan, yakni: 

Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif, membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization).

Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak dan perempuan.

Ketiga, RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, RKUHP membangkang pada Konstitusi, mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.

Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga.

Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen.

Ketujuh, berdasarkan 6 (enam) poin permasalahan yang telah disebutkan di atas, telah nyata terlihat bahwa RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

"Kami sangat mengapresiasi waktu panjang dan banyak energi yang sudah diberikan Pemerintah dan DPR dalam menyusun dan membahas RKUHP. Namun, ketujuh catatan di atas tidak bisa diabaikan begitu saja," jelas ICJR dalam keterangan resminya, Senin (26/8/2019).

"Alih-alih fokus untuk memenuhi ‘tenggat waktu’, mari kita bekerja memastikan RKUHP melindungi semua orang di Indonesia tanpa terkecuali. Kami siap bekerja mendukung Pemerintah dan DPR untuk memastikan hal ini," lanjut ICJR.


Tuntutan untuk Pemerintah

Karena berbagai alasan tersebut, ICJR bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengajukan sejumlah tuntutan untuk pemerintah, yakni:

    <li>Menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial;</li>
    
    <li>Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil;</li>
    
    <li>Menolak RKUHP sekedar dijadikan pajangan “maha karya” bagi Pemerintah dan DPR saat ini untuk dipaksakan pengesahannya.<span id="pastemarkerend"> <br>
    


Editor: Agus Luqman

  • RKUHP
  • DPR
  • ICJR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!