BERITA

Menjaga Kelompok Rentan dari Bahaya Rokok

Menjaga Kelompok Rentan dari Bahaya Rokok

KBR, Jakarta - Dr. Abdillah Ahsan, Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI mengatakan untuk mengurangi jumlah perokok selain meningkatkan harga rokok yang tak kalah penting adalah mengurangi akses terhadap rokok. 

“Akses itu, penjualan rokok seharusnya tidak sebebas sekarang ini ya. Sekarang ini menjual rokok dianggap sebagai menjual barang biasa yang bermanfaat. Padahal kalau dengan filosofi cukai pengendalian, konsumsi rokok atau produksi rokok itu harus disamakan dengan alkohol,” katanya.

Dia melanjutkan akses yang begitu terbuka membuat rokok bisa dibeli siapa saja dengan uang yang terbatas karena rokok bisa dibeli secara ketengan. 

“Dengan uang saku anak SD yang seharinya 10 ribu, harga per batang seribu rupiah, itu sangat bisa dijangkau, sangat bisa kebeli untuk anak-anak, oleh orang miskin dan sebagainya,” tambahnya. 

Dr Arum Atmawikarta, MPH, Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas mengatakan anak-anak dan orang miskin ini termasuk dalam kelompok rentan.

“Kalau dari aspek kesehatan, yang disebut rentan itu adalah bayi, balita, kemudian ibu hamil, kemudian ibu menyusui, dan menderita penyakit juga yang pertama. Tapi dalam kelompok rentan yang paling luas lagi adalah kelompok yang miskin,” jelas Arum.

Arum melanjutkan belanja rokok pada keluarga miskin menempati posisi kedua setelah beras. “Setelah beras itu urutannya adalah rokok. Dan itu lebih kecil dari pengeluaran keluarga, misalnya untuk kesehatan, ataukah untuk pendidikan, untuk pengeluaran yang lainnya, katanya. 

Badan Pusat Statistik menyebut data belanja kelompok miskin ini konsisten dari 2004 hingga 2018. Menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) rata-rata penduduk miskin itu mengkonsumsi 11 batang rokok per hari. 

Abdillah mengatakan bila belanja rokok ini dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan bergizi, kesehatan, dan pendidikan maka kondisi kesehatan keluarga akan lebih dan produktivitas pun meningkat. 

“Pertumbuhan ekonomi harus bertumbuh secara berkualitas dan dilandasi oleh masyarakat yang sehat, bahwa masyarakat yang tidak merokok itu lebih sehat dari pada masyarakat yang merokok. Pekerja yang merokok itu produktivitasnya lebih rendah daripada yang tidak merokok, karena mereka butuh waktu untuk merokok. Itu belum sakit ya, butuh waktu buat merokok, pada saat sakit dia tidak bisa bekerja,” ujarnya. 

Abdillah mengibaratkan membeli rokok itu seperti membeli penyakit. “Membeli rokok itu kan membeli penyakit, itu yang sebenarnya tidak logis. Penyakit kok dibeli? Sudah dibeli asapnya mengganggu sekitar. Itu tidak logis sama sekali,” ujarnya.

Abdillah menceritakan bagaimana Kyai Mustafo Bisri yang dulunya perokok berat kini sudah berhenti karena ingin berhenti. Dia mengungkapkan diusianya 74 tahun, Kyai yang kerap disapa Gus Mus ini tetap aktif ke sana kemari dan tubuhnya lebih berisi ketimbang saat masih merokok. 

Selain dua hal yang sudah disampaikan Dr. Abdillah Ahsan, menaikkan harga rokok dan membatasi aksesnya, ada hal lain yang harus dilakukan untuk menyadarkan perokok agar berhenti. Dr Arum Atmawikarta, MPH, dari Bappenas mengatakan yang harus terus dilakukan adalah mempromosikan kesehatan di tingkat keluarga. 

“Supaya kepala keluarga itu tidak merokok atau jangan merokok di dalam rumah, karena dampaknya terutama kepada bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang sedang hamil itu begitu besar sekali. Karena sudah dibuktikan pada keluarga yang merokok, tingkat kematian bayi itu lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tidak merokok,” ujar Arum.

Dia menambahkan bila ada orang yang tetap mau merokok jangan di dalam rumah karena asapnya akan mengganggu terutama golongan rentan. Selain itu Arum mengatakan ada wacana untuk mensyaratkan tidak merokok bila ingin mendapatkan bantuan pemerintah.

“Yaitu bantuan-bantuan program pemerintah yang dikhususkan kelompok rentan dan kelompok miskin itu, jangan digunakan untuk membeli rokok. Kan sekarang pemerintah sudah memberikan bantuan-bantuan kepada kelompok miskin, ada bantuan tunai dan sebagainya,” tuturnya.

Tapi Arum mendorong lebih baik lagi kebiasaan merokok ini bisa dicegah sejak dini karena kebiasaan itu akan terbawa terus sampai usia tua dan akan sulit berhenti.

 

  • ctfk

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!