KBR, Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengklaim 76 ribu guru Madrasah Diniyah terancam menganggur jika pemerintah menerapkan kebijakan lima hari sekolah.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengatakan sejak awal sikapnya sudah jelas yaitu menolak penerapan sekolah lima hari atau full day school. Bagi Said, tidak ada kompromi dan dialog lagi untuk kebijakan sekolah lima hari tersebut.
"Yang penting, pemerintah harus segera mencabut Permendikbud tentang sekolah lima hari ini. Peraturan itu akan menggusur Madrasah Diniyah yang dibangun oleh masyatakat, yang gurunya dikasih honor secara swadaya oleh masyarakat. Bayangkan di Indonesia ini ada 76 ribu guru diniyah," kata Said Aqil di Kantor PBNU, Kamis (10/8/2017).
Jika alasan pemerintah menjadikan sekolah lima hari adalah karena ingin membentuk karakter siswa, kata Said, pendidikan karakter di pesantren justru sudah terbukti membuat karakter santri yang baik.
"Pesantren itu terutama di pesantren NU, itu terbukti nyata. Membangun santrinya dengan baik. Karena kiyai-kiyai NU tidak ada yang mengajarkan berkhianat, bohong. Semua diajarkan solid, akur dan toleran," kata Said.
Said yakin pemerintah bakal mencabut Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah, dan tidak akan diubah menjadi Peraturan Presiden. Namun jika itu dilakukan pemerintah, pihaknya tidak akan mentaati peraturan tersebut.
"Saya yakin pemerintah tidak akan mengeluarkan Perpres. Kalau pun dikeluarkan, kita tidak akan mentaatinya," kata Said.
Baca juga:
-
Jokowi: Tidak Ada Keharusan Full Day School
-
Istana: Baca Dulu Permendikbud Sebelum Komentar soal Sekolah Lima Hari
BOS untuk honor guru Diniyah?
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi membantah pelaksanaan sekolah lima hari atau Full Day School (FDS) bakal mematikan kegiatan pendidikan Madrasah Diniyah. Muhajir bahkan mengklaim Madrasah Diniyah akan dijadikan partner dalam pelaksanaan FDS tersebut.
"Jadi perlu saya clear-kan sekali lagi, Madin atau TPQ malah akan kami jadikan sebagai partner, kami ajak kerjasama. Yaitu lembaga pendidikan agama, maupun pendidikan lainnya, akan dijadikan partner, dalam pelaksanaan delapan jam belajar. Yang harus dipahami ini, delapan jam belajar itu tidak harus di sekolah. Sebenarnya apa yang terjadi selama ini, yaitu pagi belajar di sekolah, sore belajar di madrasah, sebetulnya ya itu sudah full day school. Itu semua, waktu itu sudah dianggap delapan jam," jelas Muhadjir, Jumat (18/6/2017).
Lebih lanjut Muhadjir mengatakan lantaran sifatnya hanya sebagai sarana pendukung, ia pun tidak mempermasalahkan banyaknya guru sekolah Madin yang belum berijazah formal. Sebab, Madin hanya salah satu sarana pendukung dalam program lima hari sekolah.
Muhadjir bahkan mewacanakan, seandainya memungkinkan, sekolah bisa mengalokasikan honorarium bagi guru Madrasah Diniyah dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Muhadjir mengatakan pengertian delapan jam belajar bukan berarti proses pembelajaran dilaksanakan penuh di dalam lingkungan sekolah formal.
Apa yang terjadi selama ini, kata Muhajir, sudah seperti bayangan awal FDS. Yakni, siswa berada di lingkungan formal mulai pagi hingga siang hari di sekolah formal. Kemudian, sore harinya, siswa akan belajar di Madin, TPQ atau pesantren.
Muhajir mengatakan sebagian pembelajaran dapat dilaksanakan di luar sekolah, termasuk di Madin atau TPQ, seperti telah berjalan selama ini.
Editor: Agus Luqman