INDONESIA

Di Afghanistan, Perempuan Mesti Berjuang untuk Jadi Pelayan

Di Afghanistan, Perempuan Mesti Berjuang untuk Jadi Pelayan

Butuh waktu delapan hari untuk bisa meyakinkan Gul Rukh yang berusia 37 tahun, agar mau diwawancarai.

Ia takut bercerita soal pekerjaannya secara terbuka. Dia bekerja sebagai pelayan di Gedung Pernikahan Mumtaz Mahal

“Penghasilan saya sekitar dua juta rupiah per bulan. Saya senang dengan pekerjaan ini tapi masyarakat memperlakukan saya dengan buruk. Mereka mencemooh saya dan mengatakan pelayan bukanlah pekerjaan yang baik bagi perempuan. Tapi ketika suami saya sakit, saya harus bekerja untuk membiayai sekolah anak-anak. Pekerjaan ini adalah pilihan terbaik.”

Ia mengaku, menerima pesanan dan membawa makanan ke pelanggan itu lebih mudah ketimbang bekerja di peternakan atau pabrik.

Gedung Pernikahan Mumtaz Mahal menjadi salah satu tempat menikah yang populer di kalangan orang kaya dan kelas menengah di Kabul.

Ibu lima anak bernama Rukhshana juga bekerja di sini.

“Dulu saya bekerja mencuci pakaian dan juga merawat ternak tapi inilah pekerjaan terbaik. Saya datang ke Kabul agar anak-anak saya bisa sekolah. Bekerja di sini cukup menyenangkan.”

Obaid Allah Nayab adalah manajer gedung itu.

“Ada 11 pelayan di gedung ini. Bila ada pesta yang tamunya hanya perempuan yang meminta pelayan perempuan, kami bisa memenuhinya. Saya sangat senang ada pelayan perempuan bekerja di sini. Yang menjadi masalah adalah kelompok konservatif  di masyarakat. Bila mereka tidak ada, maka perempuan bekerja tidak akan jadi masalah.”

Laila Haidery mengelola Hotel Tajbigom dan mempekerjakan perempuan sebagai pelayan.

Sudah dua kali dia diserang pria tak dikenal.

“Ada orang-orang yang menentang perempuan bekerja, terutama jika mereka melihat perempuan sukses seperti saya. Sudah dua kali saya hampir terbunuh. Yang pertama saat saya mau masuk taksi. Ada dua orang pria mencoba mencekik saya dengan cadar mereka. Saya melawan tapi mereka memukuli saya. Yang kedua, ketika beberapa orang masuk rumah dan mencoba membunuh saya. Ketika saya menembakkan senjata api, mereka melarikan diri.” 

Meski berbahaya, ia tetap bekerja keras dan menghasilkan banyak uang.

Akram Yawari yang baru kembali dari belajar di India mengatakan ia senang melihat perempuan Afghanistan bekerja sebagai pelayan.

“Menurut saya, perempuan yang bekerja di hotel ini bisa menginspirasi yang lain. Ini kali pertama saya berkunjung ke hotel ini tapi menurut saya ini bagus bagi keluarga dan perempuan yang ingin makan di luar.”


  • Afghanistan
  • perempuan
  • diskriminasi
  • Taliban
  • Ghayor Waziri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!