BERITA

Pansel Akan Pertimbangkan Rekam Jejak Calon Pimpinan KPK

Pansel Akan Pertimbangkan Rekam Jejak Calon Pimpinan KPK

KBR, Jakarta- Tim Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal menelisik rekam jejak para kandidat seleksi sebelum tahap wawancara. Anggota Pansel Hamdi Muluk mengatakan Pansel membuka diri terhadap berbagai masukan masyarakat terkait rekam jejak peserta seleksi. 

Pansel bakal menganalisis dan mengkonfirmasi kebenaran data rekam jejak tersebut sesuai jadwal seleksi yang ditetapkan. Sejauh ini Pansel telah menerima 900 masukan, tetapi mayoritas berupa dukungan pada kandidat. 

"Ada yang melapor begini, ada yang melapor begitu. Kita gak bisa percaya saja dengan satu sumber. Kan itu semua harus diklarifikasi. Nanti tahapannya setelah ini, begitu. Nah baru, semua laporan masyarakat, rekam jejak, semua itu baru kita lihat. Jadi memang ada tahap-tahapannya begitu," ujar Hamdi pada KBR, Selasa (23/07/2019). 

Anggota Pansel KPK Hamdi Muluk tak bisa memenuhi tuntutan masyarakat sipil seperti ICW yang meminta kandidat dari unsur penegak hukum tak diloloskan. Hamdi berdalih Pansel bekerja berdasarkan undang-undang. Yakni menyeleksi para calon dari berbagai unsur pemerintahan termasuk penegak hukum tanpa diskriminasi. 

Pansel, kata dia, juga tak bisa menelusuri kepatuhan penyerahan LHKPN tiap kandidat. Pasalnya, kewajiban penyerahan LHKPN hanya dikenakan bagi lima capim terpilih yang lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Saat ini, calon pimpinan KPK yang tersaring baru memenuhi persyaratan di tahap administrasi dan kompetensi.

Indonesian Corruption Watch (ICW) sempat menyarankan Pansel untuk tidak meloloskan calon pimpinan yang berasal dari unsur penegak hukum, agar dapat menghindari konflik kepentingan dan lebih objektif dalam bertugas. Lembaga antikorupsi itu juga menyebut ada kandidat capim KPK yang memiliki rekam jejak buruk. Namun, peneliti ICW Kurnia Ramadhana enggan menyebut nama-nama yang ia maksud dari 104 kandidat calon yang diloloskan Pansel KPK.


Waspada Kandidat Titipan


Sedangkan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mendorong panitia seleksi calon pimpinan KPK mewaspadai kandidat titipan.


Menurut Peneliti dari Pukat UGM, Agung Nugroho, Kandidat titipan ini dapat menghilangkan independensi, karena dikhawatirkan calon yang tidak independen akan memiliki konflik kepentingan saat menjabat nanti.


"Dari Pukat sendiri, dari awal kita bilang kalau semuanya jangan sampai ada titipan untuk pimpinan KPK gitu, baik lembaga-lembaga maupun kepentingan-kepentingan lain. Baik dari kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung, maupun yang lain. Semuanya harus dikhawatirkan jika itu titipan," kata Agung Nugroho pada KBR, Selasa (23/07/2019).


Agung mengatakan, pimipinan KPK ke depan harus memenuhi tiga nilai. Pertama, calon pimpinan independen, artinya tidak boleh memiliki kaitan dengan lembaga lain, misal tidak melonggarkan aturan pada instansi tempat dia dulu bekerja.


Kedua adalah pengetahuan atau kompetensi, setiap calon pimpinan harus memiliki pengetahuan soal pemberantasan korupsi dan aturannya, termasuk manajemen organisasi.


"Yang ketiga adalah rekam jejak. Rekam jejak ini bagaimana dia bekerja mendukung pemberantasan korupsi atau engga," katanya.


Senin (22/7/2019) kemarin, Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih mengumumkan sebanyak 104 orang dinyatakan lolos seleksi uji kompetensi calon pimpinan KPK periode 2019-2023.


Kandidat yang lolos itu berasal dari unsur Polri sebanyak 9 orang, pensiunan Polri 3 orang, hakim 7 orang, mantan hakim 2 orang, jaksa 4 orang, pensiunan jaksa 2 orang, pengacara 11 orang, auditor 4 orang, unsur KPK 14 orang, Komisi Kejaksaan/Komisi Kepolisian Nasional 3 orang, Aparatur Sipil Negara 10 orang, pensiunan ASN 3 orang, dan lain-lain sebanyak 13 orang.

 

Editor: Kurniati Syahdan

  • Pansel Capim KPK
  • Capim KPK
  • KPK
  • ICW
  • Pukat UGM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!