SAGA

Balada Ela dan Dedi, Keluarga Perokok dengan Anak Stunting

Keluarga Nurlela dan Dedi dan problem kecanduan rokok
Keluarga Nurlela-Dedi dan problem kecanduan rokok berdampak anak mengalami stunting (KBR)

Bocah berusia tiga tahun itu merengek-rengek di gendongan sang ibu, Nurlela. Untuk menenangkannya, Ela langsung menetekinya.

Bocah itu bernama Muhammad Rizki. Umurnya sudah tiga tahun, tapi berat dan tinggi badannya tak seperti anak seumurannya. 

“Berat anak cuma sembilan kilogram. Enggak tinggi-tinggi, minimal 11 centimeter. Jadi kadang diomelin kalau ke Puskesmas, ‘anaknya dikasih makan apa enggak?’. Terus disarankan kasih susu yang bagus. Begitu ditimbang, kata dokternya ‘kok berat anaknya enggak naik-naik?’. Yah, gimana lagi.”

Kata Ela, anaknya itu sangat susah makan nasi. Yang paling digemari justru camilan ber-MSG. 

“Tapi kalau makan nasi enggak terlalu. Makanan yang disuka itu Ciki, susu kotak, jajanan ringan.

Sampai hari ini, Rizki baru bisa merangkak. Kalaupun jalan, selalu jatuh. Itu mengapa kedua kakinya penuh luka lecet.

Nurlela dan Dedi Panurib, suaminya, bekerja sebagai pemulung. Mereka mencari barang rongsokan di terminal dan pasar di kawasan Depok. Kalau sudah dua pekan terkumpul, dijual ke pengepul sebesar Rp 200 ribu.

“Kadang bawa anak untuk memulung,” kata Ela, “Jadinya kadang anak dititip ke orang.” 

Siang itu, saya diajak ke rumahnya yang berupa bilik kamar. Di dalamnya ada satu kasur, meja reot, dan televisi rusak. Di sana, kira-kira ada delapan bilik – semua penghuninya pemulung. Kata dia, bilik-bilik kamar itu dipinjami bos pengepul. 

Uang yang diperoleh Ela dan Dedi tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sesekali, mereka meminjam duit ke bos pengepul. Gali lubang, tutup lubang. Strategi yang ditempuh adalah mengurangi jatah makan karena pengeluaran rutin justru untuk ini: rokok.

“Paling makan dikurangi. Paling rokok, buat anak jajan. Kadang beli beras sedapatnya aja.”

Perempuan 33 tahun ini juga bercerita, kerap bertengkar dengan suaminya. Ia tak habis pikir, penghasilan yang kecil itu harus dibakar suaminya untuk beli rokok. 

“Kadang diam, kalau kesal ya sudah. Pernah berantem juga. Kadang saya protes ‘Pak, berhenti dong, kasihan anaknya nggak boleh kena asap’. Tapi suami nggak bisa berhenti.”

Dedi, suami Ela, mengaku dalam sehari menghabiskan sebungkus rokok. Bisa lebih, kalau sedang kumpul-kumpul bersama temannya. 

“Enggak menentu. Kadang dua bungkus. Paling banyak tiga bungkus, itupun kalau banyak teman. Kalau sendirian, sebungkus cukup.”

Akibat sering diprotes sang istri itulah, pria 30 tahun ini mulai mengurangi rokok. 

“Tapi saya diam kalau istri protes. Nggak banyak omong. Kalau ngebales nanti ujungnya ribut.”

“Sekarang kurangi rokok, misalnya sehari jadi setengah bungkus.”

Survei Kehidupan Keluarga Indonesia menyebut anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan perokok kronis cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih lambat, baik berat dan tinggi badan. 

Inilah yang terjadi pada keluarga Nurlela dan Dedi, dengan anak mereka yang menderita stunting. 

1 dari 3 balita di Indonesia menderita stunting. Bappenas bahkan menyebut stunting sebagai ancaman nyata terhadap ekonomi nasional dan kualitas sumber daya manusia. 

Peneliti dari Pusat Kesehatan Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Renny Nurhasana, mengatakan rokok punya sumbangan yang besar terhadap kemiskinan, di kota maupun di desa. Alokasi belanja terbesar masyarakat miskin di perkotaan adalah beras, disusul rokok.

“Komoditi kedua yang menyebabkan kemiskinan, rokok. Jumlahnya 9,98 persen di kota dan di desa sebesar 10,7 persen. Jadi kalau bisa potong pengeluaran rokok di rumah tangga, kita bisa merendahkan angka kemiskinan.”

Ketika uang rumah tangga lebih banyak habis untuk beli rokok, akibatnya pemenuhan gizi dan protein si anak berkurang. Ujung-ujungnya, pertumbuhan anak pun jadi terhambat. 

“Ada penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Jaminan Sosial UI bagaimana konsumsi dari rokok akan memengaruhi kemiskinan dan stunting. Ditemukan bahwa rumah tangga dengan perokok, berat balita lebih rendah 1,5 kilogram dibanding rumah tangga yang tidak ada perokok.”

Pusat Kesehatan Jaminan Sosial Universitas Indonesia pernah membuat Survei Kehidupan Keluarga Indonesia. Mereka mengamati berat badan dan tinggi anak-anak usia di bawah lima tahun pada tahun 2007 dan kemudian melacak mereka di tahun 2014 untuk mengamati dampak perilaku merokok orangtua terhadap perkembangan si anak.

Hasilnya mengejutkan - anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan perokok kronis cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih lambat, baik berat dan tinggi badan. 

Karenanya, ia berharap ada kebijakan yang bisa menekan konsumsi rokok. 

“Ini memang cukup rumit karena kita bicara tentang rokok yang adiktif,” kata Renny.

Karena itu Renny mendorong adanya kebijakan yang lebih besar untuk mengatur harga rokok. “Mekanismenya adalah dengan menaikkan cukai rokok.”

Dukung harga rokok yang lebih mahal supaya tak terbeli oleh anak-anak dan keluarga miskin, tanda tangani petisi #RokokHarusMahal.

  • #RokokHarusMahal
  • stunting
  • kemiskinan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!