BERITA

Our Voice: Jadi Homo Bukan Pilihan, Tapi Rahmat Tuhan

"KBR, Jakarta- Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis 26 Juni lalu, menimbulkan kehebohan di penjuru dunia, termasuk di Indonesia."

Our Voice: Jadi Homo Bukan Pilihan, Tapi Rahmat Tuhan
Bendera LGBT

KBR, Jakarta- Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis 26 Juni lalu, menimbulkan kehebohan di penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ada yang mendukung dan menolak kebijakan ini. Namun, bagi pendukung kelompok lesbian gay biseksual dan transgender atau LGBT, keputusan pemerintah Amerika itu menggembirakan dan melegakan. Mengingat selama ini kelompok LGBT kerap mendapat perlakuan diskriminasi dari pihak lain.

Euforia keputusan ini dirayakan dengan berbagai cara, semisal dengan mengibarkan bendera atau gambar pelangi di berbagai tempat, termasuk di media sosial. Tapi, bagi yang kontra, keputusan itu sangat mengejutkan.

Terutama dari kelompok penentang pernikahan sesama jenis. Bahkan kelompok ini menghujat kelompok lain yang memberikan dukungan. Alasan yang digunakan adalah pernikahan sejenis dilarang agama. Ini cukup sensitif, sehingga kelompok pendukung pernikahan sejenis pun tidak berani terang-terangan misalnya memasang warna-warni pelangi dalam akun media sosial mereka.

Menurut Sekjen LSM pemberdayaan LGBT, Our Voice, Hartoyo aksi penolakan terhadap legalisasi itu, terutama di tanah air, sudah bisa diketahui asalnya dari mana. Meski ia tak menyebut secara spesifik.

“Ada yang rasional. Ada yang menolak. Kita tahu siapa kelompok yang menolak, yaitu kelompok konservatif. Itu hal yang wajar dalam negara demokrasi,” terangnya, Rabu, (1 Juli 2015).

Penolakan, jelas Hartoyo, biasanya disampaikan dengan menggunakan ayat-ayat agama.

“Jika ditafsirkan dengan agama, agama itu banyak tafsir. Ulama juga banyak pendapat yang berbeda. Inilah dinamika keberagaman di Indonesia.”

Sebagian lainnya, kata dia, menyebut homoseksual sebagai penyakit. Padahal, menurutnya bukan penyakit.

“Ada pedoman diagnosa gangguan jiwa di Kementerian Kesehatan pada tahun 1993 yang dicabut, bahwa homoseksual bukan penyakit, tapi sebuah keberagaman. Di dunia pun sudah diakui aklamasi bahwa homoseksual bukan penyakit. Jika kita belajar di ilmu kedokteran atau psikologi itu sudah dinyatakan bukan penyakit. Alasan yang digunakan penentang legalisasi ini salah.”

Di Indonesia sendiri, penolak juga kerap menggunakan sejarah dalam menyampaikannya keberatannya. Kembali Hartoyo menjelaskan.

“Dia menggunakan sejarah Luth, kalau Kristen Sodom dan Gomora. Di Indonesia memang muslim yang paling menolak,” tuturnya.

Ketika ada yang mendukung aturan itu kemudian mendapat kecaman, kata Hartoyo, itu sebuah kewajaran dalam demokrasi. Ia lantas mengapresiasi sejumlah artis tanah air yang terang-terangan mendukung LGBT, semisal Sherina. Meski pada akhirnya anak Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf itu harus dicemooah di media sosial.

“Tapi, itu keberanian. Pendukung homo itu beragam sekarang. Ada kebencian di medsos, itu kita masih belajar.”

Namun, baginya, penolakan adalah sebuah kewajaran asalkan tak disertai kekerasan fisik dan lainnya.

“Negara harus hadir jika ada kekerasan fisik, dan saya harap itu tidak ada.”

Apa yang diperjuangkan lembaganya saat ini tidak muluk seperti apa yang terjadi di Amerika belum lama ini. Bahkan, meski disetujui, penolakan di Amerika pun masih terjadi. Sejumlah pihak masih menuntut pencabutan pengesahan legalisasi pernikahan sejenis di Negeri Paman Sam, tersebut.

Saat ini ia dan semua kaum LGBT berharap, minimal tidak ada kekerasan dan diskriminasi di semua tataran. Karena bagaimanapun, kata Hartoyo, LGBT adalah juga warga negara, pembayar pajak yang perlu mendapat pelayanan yang sama. Meski diakuinya, diskiminasi masih ada. Semisal dalam bentuk Perda, dan sejumlah aturan lainnya.

“Waria sampai sekarang sulit dapat kerja. Gay di kantor juga sulit, kalau mengaku jg akan disindir dan sebagainya. Lesbian itu jauh lebih mengerikan ketertutupannya. Organisasi lesbian itu sulit mengumpulkan lesbian. Kalau gay sekarang banyak yang nongkrong di mall.”

“Pertama momen ini berharga buat kami. Ke depan kita akan memberi pendidikan ke publik, seperti di radio sekarang. Kami juga warga negara, kita juga punya kontribusi. Kita juga akan mendidik LGBT utk jujur, tidak menipu ke anak, istri, lingkungan dan orang tuanya. Kita mencegah mereka untuk tidak bunuh diri karena tekanan. Jangan harap itu terjadi.”

Pada saatnya nanti, ia yakin, masyarakat akan lebih terbuka. Karena menjadi LGBT bukanlah pilihan, melainkan berkah yang diberikan tuhan. Ia pun meminta kaum LGBT untuk tidak pergi ke luar negeri untuk sekedar mencari pengakuan. Namun, mengajak mereka semua berjuang bersama meluruskan pemahaman, dan bersama membangun bangsa Indonesia menjadi beradab, dan adil kepada semua orang. 

Editor: Malika

  • LGBT
  • LGBTI
  • Toleransi
  • Agama dan masyarakat
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!