BERITA

Mengenali Pintu Masuk Radikalisme di Perguruan Tinggi

Mengenali Pintu Masuk Radikalisme di Perguruan Tinggi

KBR, Jakarta – “Orang-orang radikal itu merasa lebih Islam dibanding orang Islam lainnya. Ada doktrin seperti itu,” kata Mulyadi ketika berbagi pengalaman di sebuah diskusi bertema “Radikalisme di Perguruan Tinggi” yang digelar The Habibie Center di Jakarta, Kamis (23/5/2019).

Dosen di Universitas Indraprasta PGRI ini pernah bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) semasa kuliah.

Melalui pernyataan itu, Mulyadi ingin menunjukkan betapa kuat pentolan NII mencekoki anak-anak muda hingga jadi merasa kelompok yang paling benar.

Butuh lima tahun untuk sadar lantas keluar dari lingkaran kelompok.

“Lalu apa yang membuat orang-orang itu bermetamorfosis kemudian kembali  lagi ke ideologi semula?” pertanyaan yang ia tujukan ke dirinya sendiri.

“Teman-teman saya yang bisa kembali lagi ke moderat itu, pertama bukan karena indoktronasinya. Karena mereka sudah tidak tahan dengan gerakan pembiayaan, mereka rata-rata tidak kuat finansial kemudian keluar,” lanjut Mulyadi.

Ia bilang, doktrin yang ditanamkan NII begitu kuat. Gerakan yang muncul sejak 1949 ini menginginkan syariat Islam dijadikan sebagai sumber hukum.

Mulyadi melanjutkan, tahun-tahun semasa ia kuliah--antara 2005 hingga 2007--banyak dari kawan-kawannya yang terekrut NII.

Riset The Habibie Center yang dirilis 2019 menemukan, perekrutan di perguruan tinggi ini masih terjadi hingga kini.

Salah satu peneliti, Hasan Ansori menjelaskan perbedaan kelompok konservatif dan radikal ada di tataran penolakan terhadap sistem. Kaum konservatif masih bersedia bergabung dalam sistem di perguruan tinggi, juga masih mengakui Pancasila.

Kelompok radikal bersikap sebaliknya. Mereka sudah pada posisi ingin mengganti sistem; tegas menolak Pancasila, demokrasi, dan semua sistem tata negara yang dianggap bertentangan dengan Islam.

“Secara umum terdapat dua varian islamisme di kampus, yaitu konservatif dan radikal. Kelompok konservatif mengacu pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK), juga kelompok salafi. Sedangkan kelompok radikal merujuk pada NII, ISIS serta HTI,” tulis hasil riset The Habibie Center.

Lembaga ini membagi pola perekrutan menjadi dua; jalur terbuka (open) dan jalur sembunyi-sembunyi (underground).

“Metode rekrutmen kelompok konservatif-LDK dan radikal-HTI cenderung bersifat relatif terbuka. Berbeda dengan kelompok radikal-NII yang juga memiliki kaitan dengan JAD dan ISIS, mereka cenderung bersifat tertutup dan sunyi (underground).”

Kelompok konservatif-salafis yaitu HTI dan NII juga ISI cenderung melakukan kajian dakwah dan rekrutmen di luar kampus. Sebaliknya, kelompok konservatif-LDK fokus menggarap kader di dalam kampus.

“Radikalisme itu sangat terkait dengan rohis. Linknya sangat kuat sekali,” tutur Ansori.

Menurut kajian The Habibie Center, setiap universitas memiliki kebijakan, praktik serta tingkat kesiapan yang berbeda dalam merespons persoalan radikalisme di kampus. Perbedaan bergantung pada keyakinan dan persepsi pimpinan perguruan tinggi.

Contohnya, menurut hasil riset tersebut, rektor Universitas Indonesia dianggap tak sigap menangani radikalisme di UI. Dalam lembar hasil kajian itu dijelaskan, BNPT sebenarnya berharap UI memecat siapa saja yang terkait dengan HTI. Selain itu, UI dinilai tak menjaga jarak dengan kelompok Islam garis keras di kampus dan terkesan membiarkan.

Kenapa Harus Mahasiswa

Riset dari FISIP Universitas Brawijaya pada 2018 menyatakan, sekitar 23 persen mahasiswa di universitas ini mendukung dan menerima jika ada kelompok tertentu yang menerapkan Khilafah Islamiyah.

Salah satu peneliti mengungkapkan, mahasiswa jadi target kelompok radikal lantaran dianggap mampu membangun basis dukungan, punya ketrampilan dan pengetahuan—khususnya ilmu rekayasa atau field of engineering, serta merupakan kelompok yang pemikiran juga mentalnya masih gamang.

“Ini kan kelompok educated people yang ke depannya akan menjadi orang besar dan sebagainya dan nanti akan memengaruhi yang lain. Nanti kalau dia masuk di departemen ekonomi atau apa, dia akan bisa memengaruhi,” jelasnya lagi.

Riset lain dari Alvara Research Center pada 2017 menemukan dari 1.800 mahasiswa sebanyak 23,4 persen di antaranya cenderung mendukung jihad untuk mendirikan negara Islam. Temuan ini sejalan dengan survei Badan Intelejen Negara (BIN) pada 2017 yang menyebut sekitar 39 persen mahasiswa Indonesia di 15 provinsi terpapar radikalisme. Sebanyak 24 persen mahasiswa setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.

red

Bagan berdasar riset The Habibie Center mengenai Tiga Tahapan Strategis Penanganan Radikalisme di Kampus. (Foto: KBR/ Ika Manan) 

Pakar psikolog dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk mengungkapkan, setidaknya ada dua obat untuk menangkal radikalisme di lingkungan kampus.

“Saya coba eksperimen di lab saya, apakah berpikir kritis itu satu-satunya obat untuk radikalisme? Ternyata, nggak juga. Sebetulnya, harus semakin banyak orang kontak dengan orang yang macam-macam orang, aliran, bentuk, macam-macam lah. Istilahnya kalau bahasa anak sekarang, makin banyak gaul lah. Makin banyak gaul itu menyelamatkan orang,” tutur akademisi yang juga terlibat dalam program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut.

“Kedua, orang jangan hanya bergantung pada satu identitas tunggal. Sebab orang itu kan punya banyak sisi. Gua juga anak rohis, gua juga anak basket, gua juga anak kampung ini. Dengan sendirinya, pikirannya akan terbuka,” tambahnya lagi.

Editor: Agus Luqman

  • radikalisme
  • Perguruan Tinggi
  • terorisme
  • The Habibie Center

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!