BERITA

Kontras: 72 Kasus Penyiksaan Didominasi Oleh Polri

" Penyelesaian kasus penyiksaan di institusi Polri seringkali menemui jalan buntu karena mekanisme pelaporan melalui kepolisian"

Kontras: 72 Kasus Penyiksaan Didominasi Oleh Polri
Anggota Brimob (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak lima lembaga negara untuk proaktif menelusuri praktik penyiksaan oleh Institusi Polri.

Lima lembaga negara tersebut yakni Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Ombudsman RI.

Koordinator Kontras, Yati Andriyani menuturkan, sebagai lembaga independen, lima lembaga negara tersebut harus turun tangan untuk mengungkap praktik-praktik penyiksaan yang banyak ditemukan di institusi Polri.

Menurutnya, penyelesaian kasus penyiksaan di institusi Polri seringkali menemui jalan buntu karena mekanisme pelaporan melalui kepolisian.

"Harusnya lembaga independen ini bisa menanyakan ke mereka, apakah mereka  (korban) mengalami penyiksaan atau tidak. Jadi jangan menunggu ada laporan, menunggu ada keluarga korban datang, terus diklarifikasi, dikomunikasi ke lembaga negara yang lain, menurut saya itu menjadi tidak efektif memberikan bantuan kepada mereka yang mendapat penyiksaan," kata Yati di Jakarta, Rabu (26/6).

Yati Andriyani menambahkan, Polri juga harus terbuka menerima pengawasan dari pihak eksternal seperti Komnas HAM.

Menurutnya apabila dilakukan pengawasan eksternal dan ditemukan kasus penyiksaan bisa dibawa ke pengadilan, bukan justru diselesaikan dengan sanksi indisipliner.

Sebelumnya, Kontras merilis sejak Juni 2018 hingga Mei 2019 terdapat 72 kasus penyiksaan dengan kekerasan. Dari jumlah tersebut, 57 kasus kekerasan dilakukan aparat polisi, tujuh oleh TNI, dan delapan oleh sipir rutan/ lapas.

Kontras menyatakan korban penganiayaan adalah narapidana dan masyarakat sipil korban salah tangkap. 

Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencermati masih ada permasalahan serius dalam kebijakan anti penyiksaan pemerintah Indonesia.

Peneliti ICJR, Muhammad Eka Pramuditya menilai bahwa belum ada mekanisme yang lebih jelas untuk pengubahan pemidanaan (komutasi) hukuman mati bagi narapidana yang sudah begitu lama mendekam di penjara. ICJR mengatakan tempat penahanan rentan menjadi tempat penyiksaan.

tempat penahanan sebagai 'surga' bagi pelaku-pelaku penyiksaan

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Diminta Segera Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan", https://nasional.kompas.com/read/2019/06/26/17343501/pemerintah-diminta-segera-ratifikasi-protokol-opsional-konvensi-menentang.

Penulis : Kristian Erdianto

Editor : Sabrina Asril 

"Laporan itu butuh laporan tindak pidana, sering terjadi terjadinya tindak penyiksanya yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Laporan penyiksanya yang dilakukan oleh aparat kepolisian sulit untuk ditindaklanjuti. Lalu, terkait dengan waktu tunggu (death row)  sebelum narapidana dijatuhi hukuman mati, mereka harus menunggu (hal ini memunculkan potensi penyiksaan)," ucap Eka kepada KBR, Rabu (26/6).  


Editor: Ardhi Rosyadi

  • Kontras
  • Polri
  • ICJR
  • Penyiksaan
  • Narapidana

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!