BERITA

Kelompok Tertentu Jadi Target, Koalisi Sipil Minta Pemerintah Ungkap Dalang Persekusi

" Asfi mengatakan bukan tidak mungkin ada seseorang atau satu kelompok yang sengaja menciptakan situasi ini. Dari data yang dikumpulkan hingga Mei 2017, pola serupa terjadi di berbagai daerah."

Ria Apriyani, Dwi Reinjani

Kelompok Tertentu Jadi Target, Koalisi Sipil Minta Pemerintah Ungkap Dalang Persekusi
Hotline Koalisi Antipersekusi - Foto SAFEnet


KBR, Jakarta - Koalisi Antipersekusi mendesak pemerintah menginvestigasi fenomena persekusi atau pemburuan sewenang-wenang terhadap sejumlah orang yang berseberangan di media sosial.

Koalisi Antipersekusi terdiri dari sejumlah lembaga seperti lembaga jaringan kebebasan berekspresi SAFEnet, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI, LBH Pers, dan lain-lain.


Mewakili Koalisi Antipersekusi, Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan maraknya aksi persekusi tidak bisa semata-mata dilihat sebagai sebuah tindakan intoleransi atau konflik horizontal di masyarakat. Melihat pola yang muncul sejak Januari 2017, kata Asfinawati, pemburuan sewenang-wenang itu terjadi secara luas di berbagai daerah dalam jangka waktu yang hampir bersamaan.


"Misalnya pada tanggal 19 Mei 2017 terjadi peristiwa di Klaten, Tangerang, Jambi, Palangkaraya, dan Bandung. Karakter dunia digital itu melintasi ruang dan waktu secara cepat. Kalau zaman dulu meluasnya bisa ditahan, kalau zaman sekarang jelas bisa membahayakan orang yang ditarget," kata Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (1/6/2017).


Asfi mengatakan bukan tidak mungkin ada seseorang atau satu kelompok yang sengaja menciptakan situasi ini. Dari data yang dikumpulkan hingga Mei 2017, pola serupa terjadi di berbagai daerah.


"Ada indikasi kelompok tertentu yang ditarget. Kelompok-kelompok yang dianggap lemah dan bisa menimbulkan sentimen publik," kata Asfi.


Dari modus yang dilakukan para pelaku persekusi, pelaku mencari target sasaran yang dianggap menghina ulama atau agama. Selanjutnya asasaran dilacak identitas, foto hingga alamatnya. Setelah itu, kelompok ini menyebarkan identitas itu kepada anggota atau simpatisan kelompok itu disertai ujaran kebencian dan provokasi untuk memburu sasaran. Akhirnya, persekusi kerap diwarnai aksi penggrudukan rumah atau tempat tingal sasaran disertai ancaman.


Di beberapa kasus, kata Asfi, bahkan korban dipaksa meminta maaf setelah digampar, seperti menimpa seorang remaja di kawasan Cipinang, Jakarta Timur.


"Ada sekelompok orang yang menjadi penuntut dengan mengatakan dan menuduh seseorang menista ulama atau agama, kemudian mereka menjadi hakim dengan memukul," kata Asfi.


Setelah massa menggeruduk rumah korban, kata Asfinawati, korban biasanya dibawa ke kantor polisi untuk dilaporkan sebagai tersangka pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau pelanggaran pasal penistaan agama. Mereka dipaksa meminta maaf baik secara lisan ataupun dengan pernyataan tertulis.


Asfinawati meminta kehadiran negara tidak berhenti pada seruan terhadap kelompok yang dianggap intoleran. Koalisi mendesak Komnas HAM dan pihak kepolisian mengungkap aktor di balik gelombang persekusi. Selain itu, penindakkan hukum yang tegas kepada para pelaku juga harus dilakukan.


Baca juga:

red


Komnas HAM sayangkan Fiera


Anggota Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menyayangkan banyak korban persekusi tidak mau melaporkan kejadian yang menimpa mereka ke Komnas HAM maupun aparat penegak hukum.


"Saya dapat laporan dari AJI, ada 48 kasus seperti yang dialami dokter Fiera, namun hanya satu korban yang mau melaporkan pada kami yaitu kasus persekusi yang terjadi di Kalimantan," ujar Muhammad Nurkhoiron ketika dihubungi KBR, Kamis (1/6/2017).


Nurkhoiron mengatakan Komnas HAM juga memberi perhatian pada kasus yang dialami dokter Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat. Menurut Nurkhoiron, ancaman yang ditujukan kepada Fiera dan keluarga sudah meresahkan. Sayangnya, kata Nurkhoiron, Fiera tidak mau melaporkan kasus itu ke Komnas HAM.


"Kami sudah punya kontak dokter Fiera. Kami sudah coba hubungi tapi entah kenapa tidak ada jawaban. Katanya sedang ada pengamanan ketat dari teman-temannya dan keamanan. Pada dasarnya kami ingin membantu," kata Nurkoiron.


Di pihak aparat kepolisian, Juru bicara Mabes Polri Setyo Wasisto mengatakan polisi tidak bisa bertindak tanpa lebih dulu menerima laporan pengaduan dari korban atau menemukan ada kontak fisik terhadap korban.


"Paling tidak ada laporan dulu. Kalau ada sesuatu pasti laporkan saja. Kalau masih di media sosial, patroli kita belum bisa memonitor sampai kesana," kata Setyo.


Data dari lembaga jaringan kebebasan berekspresi Asia Tenggara SAFEnet menyebutkan sejak Januari 2017 terjadi 48 kasus persekusi dari kelompok tertentu terhadap orang lain yang berseberangan. Persekusi itu meningkat pasca persidangan kasus tuduhan penodaan agama terhadap Gubernur DKI Jakarta nonakif Basuki Tjahaja Purnama, hingga pemenjaraan Basuki selama dua tahun. Kasus persekusi tahun ini disebut The Ahok Effect.


Kelompok yang paling banyak melakukan persekusi adalah FPI atau simpatisan terhadap orang lain yang dianggap menghina petinggi FPI Rizieq Shihab. Pada Mei 2017, Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus percakapan cabul melalui media sosial WhatsApp.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • persekusi
  • The Ahok Effect
  • Koalisi Anti-Persekusi
  • SAFENET
  • kebebasan berekspresi
  • FPI
  • rizieq shihab

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!