BERITA

Ramadhan Semakin Toleran

"Puasa adalah urusan antara manusia dan Tuhannya. "

Ramadhan Semakin Toleran
lustrasi foto: Antara

KBR, Umat Islam di dunia saat ini tengah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan. Inilah bulan dimana umat Islam berpuasa, belajar menahan segala macam godaan. Tidak hanya godaan makan minum atau nafsu syahwat. Tapi juga seribu satu macam godaan lain.

Saat puasa pula, seringkali kita dengar sekelompok orang minta warung-warung makan tutup, guna menghormati mereka yang berpuasa. Tak jarang pula razia dilakukan saat siang hari. Bahkan ada daerah tertentu, seperti Serang, Banten, memberlakukan aturan denda Rp50 juta bagi warung makan yang buka di siang hari. Namun, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, tak sependapat dengan razia atau penutupan paksa warung-warung saat Ramadan.

Hal senada diutarakan pula oleh Savic Ali dari JaringanGUSDURians. Namun, ia menilai, apa yang disampaikan menteri agama adalah hal biasa, tapi baru diungkapkan sekarang.

“Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Jadi, enggak perlu ada kontroversi,” katanya, pada perbincangan Agama dan Masyarakat KBR, Rabu, (24/6/2015)

Pada dasarnya, masih kata Savic, masyarakat Indonesia telah memiliki etika tenggang rasa satu sama lain. Puasa sendiri, menurutnya, adalah urusan antara manusia dan tuhannya. Saat warung buka di siang hari, bagi dia, itu bukan berarti enggak ada toleransi.

“Dalam puasa, kita enggak perlu dihormati. Ini untuk Tuhan, bukan manusia. Puasa itu ibadah, kita enggak perlu pengakuan orang lain. Puasa itu untuk menunjukkan kemampuan kita menahan nafsu. Meski semua warung ditutup, kalau orang enggak kuat nahan nafsu, ya mereka akan mencari cara sendiri.”

Menurutnya, sweeping atau razia yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat dikarenakan ketidakmampuan mereka memaknai Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.

“Kalau diajak baik enggak mau ya enggak usak dipaksa. Enggak bersedia ya enggak usah dipaksa. Saat ini kita belum lihat ada aksi sweeping. Tapi, mudah-mudahan enggak terjadi,” tegasnya.

“Kita hidup di Indonesia yang plural. Orang makan di siang hari ya enggak masalah, karena enggak semua masyarakat Indonesia kan muslim. Saya terbiasa sejak kecil, enggak masalah. Puasa ini soal mengendalikan urusan hati, akal dan perut. Saya kira agak berlebihan jika saya sedang puasa untuk menuntut orang tidak makan di depan saya.”

Ia menilai saat ini banyak umat Islam yang perspektifnya tidak ramah. Namun, kata dia, itu tidak semua, hanya sekelompok kecil. Menurutnya, tidak tepat melihat orang dari perspektif agamanya. Sebab, agama ini turun agar manusia baik.

“Seolah dalam keadaan perang. Melihat orang itu seolah melihat orang kafir, yang harus diperangi. Kita hidup di negara yang plural, yang terbuka, itu yang ingin disuarakan GusDurians.”

Ramadhan, ia maknai sebagai momentum yang tepat untuk mengendalikan hawa nafsu.

“Mengendalikan nafsu kekuasaan, nafsu akan uang, hingga korupsi, nafsu amarah, hingga sama tetangganya konflik. Kita mampu enggak mengendalikan nafsu kserakahan, amarah, yang selama ini membuat bangsa ini tak menjadi maju. Harusnya ini momentum kita untuk bangkit, dan terlepas dari belenggu nafsu,” ujarnya.

Terlepas dari semua itu, di momen Ramadhan ini, Savic Ali mengajak semua masyarakat Indonesia memperbanyak ibadah, saling mengingatkan, dan meningkatkan kepedulian sosial. Ia berharap, kebiasaan baik saat Ramadan, dapat diteruskan ke bulan-bulan lainnya.

”Kita bukan manusia tanpa cela. Kita ini bertemu bulan mulia, kesempatan kita untuk memperbanyak ibadah. Ini momentum yang sangat baik untuk melihat diri sendiri. Jadi, enggak usah ngurusin orang lain, sampai lupa diri sendiri.” pungkas pria asal Pati, Jawa Tengah ini. 

Editor: Malika

Simak Agama dan Masyarakat setiap Rabu pukul 20.06 di www.portalkbr.com

  • toleransi beragama
  • Toleransi
  • Agama dan masyarakat
  • Ramadhan
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru
  • Jakarta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!