BERITA

Dari Minang untuk Keberagaman

Rumah tradisional Minangkabau, Rumah Gadang. Foto: Wikipedia

Penolakan RS Siloam di Padang dengan alasan agama 2013 silam membuat kita bertanya: betulkah intoleransi sudah mulai di tanah Minang?

Padahal, kata Dosen IAIN Imam Bonjol, Muhammad Taufik, adat Minang menjunjung toleransi dan keberagaman. 

“Dalam rahim Minangkabau, tidak ada radikalisme,” ujar Taufik dalam perbincangan Agama dan Masyarakat KBR, di Padang, Rabu (3/6/2015) malam. 

Taufik menjelaskan, dalam makrokosmos orang Minang, kebenaran itu abstrak tidak menubuh pada raja atau otoritas lain. Karenanya, semua orang berhak mencapai kebenaran.  Selain itu ada pula pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Menurut Taufik, itulah yang membuat orang Minang sangat tinggi tingkat adaptasinya.  “Lihat statistik, apa ada konflik lintas suku melibatkan orang Minang? Kecil sekali,” ujarnya.

Dengan bangga, Taufik juga mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang tinggal di Sumatera Barat tidak pernah mengalami diskriminasi.

Orang Minang juga punya ciri khas tak pernah membuat perkampungan sendiri ketika merantau. Hal ini berbeda dengan orang Jawa atau lainnya.”Sila cari Kampung Minang, takkan ada. Kalau kampung suku lain selalu ada,” ujarnya.

Namun seiring berjalannya waktu, ideologi lain mulai masuk ke budaya Minang. Ini jadi tantangan bagi adat di samping juga tekanan globalisasi---dan konsumerisme yang dibawanya. “Ini musuh buat nilai-nilai adat Minang,” jelasnya. 

Di posisi sinilah, orang-orang Minang perlu menengok kembali akar budayanya yang luhur. Melihat kembali adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Artinya, adat bertumpu pada agama, agama bertumpu pada kitabullah. Dalam Islam, kitabullah adalah ajaran Islam yang sudah diturunkan sejak Nabi Adam.

“Kalau adat yang sebenarnya adat, pasti akan sejalan dengan agama atau sunatullah (Keniscayaan Tuhan),” jelas Sayuti Datuk, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)

“Kalau orang Minang mau maju, berpegang teguh terus kepada adatnya,” tegas Sayuti.

Di Minangkabau, adat dan agama adalah satu. Bukan kebetulan pula bila keduanya mengajarkan kebaikan yang sama. Dua kalimat ini adalah contoh nyata.

"Kami jadikan kamu bersuku-suku supaya saling mengenal. Itu Surat al Hujurat ayat 13," ucap Sayuti.

Kalimat itu senafas dengan pepatah adat banabu-nabu bak cubadak, baruang-ruang bak durian,nan tangkainyo hanya sabuah, nan batangnyo hanyo satu. “Arti singkatnya meski berbeda-beda, asalnya satu juga,” jelasnya.

Tentu, semua orang boleh belajar dari nilai Minang ini.

 

  • toleransi agama
  • Toleransi
  • Agama dan masyarakat
  • Minangkabau
  • Adat Minang
  • petatoleransi_31Sumatera Barat_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!