BERITA

Tentang Ibadah di Rumah, IPW: Pernyataan Kapolri Provokatif

"Rabu (11/6) petang, Lona menyambut teman-temannya di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta."

Ilustrasi. (Antara)
Ilustrasi. (Antara)

KBR, Jakarta - Rabu (11/6) petang, Lona menyambut teman-temannya di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta. Seperti banyak Rabu sebelumnya, malam itu Lona dan temannya akan menghabiskan lebih dua jam bersama. Biasanya mereka ibadah Minggu di Mangga Besar, tapi Rabu adalah hari spesial di mana jemaat berkumpul di rumah Lona untuk memuji nama Tuhan. Gitar dipetik dan kidung dialunkan. Mereka membahas ayat Alkitab sementara hari berangsur gelap.

Lona sudah mendengar imbauan Kapolri Sutarman untuk tidak menjadikan rumah sebagai tempat ibadah. Namun dia tidak begitu mempedulikannya. Bagi Lona tak ada yang baru dari pernyataan itu. “Dari dulu gereja memang diperlakukan seperti itu,” katanya.

Imbauan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Sutarman dikeluarkan pekan lalu. Ini menyusul penyerangan rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus oleh kelompok orang, ketika Julius melakukan doa Rosario, Mei lalu.

Pernyataan Kapolri itu disesalkan oleh Neta S. Pane, Presidium Indonesia Police Watch (IPW). Kata Neta pernyataan Kapolri tidak pada tempatnya. “Tugas Kapolri adalah mengurus keamanan. Bukan tugas dia mengurusi agama apalagi beribadah,” kata Neta dalam perbincangan “Agama dan Masyarakat” di studio KBR dan TV Tempo, malam yang sama.

“Pernyataan Kapolri provokatif, bisa memecah belah masyarakat,” tambah Neta.

Neta menjelaskan bahwa pernyataan itu tidak hanya melarang doa Rosario seperti yang dilakukan Julius di rumahnya, tapi juga tahlilan dan pengajian muslim. Padahal, kata Neta, kegiatan ibadah keluarga seperti itu diperbolehkan dalam SKB Menteri mengenai Kerukunan Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. “Kapolri sepertinya lupa,” kata Neta.

Hal serupa diungkapkan Khalid Ridwan, cendikiawan muslim dari Majelis Ulama Indonesia. “Pernyataan Kapolri itu mengada-ngada,” katanya. Khalid menjelaskan Islam mengajarkan ibadah bisa dilakukan di mana saja.

Khalid bercerita bahwa di daerah lain di mana muslim jadi minoritas, muslim ditekan juga. Karena itu dia mengajak semua penganut agama menaati peraturan rumah ibadah yang berlaku. “Selama tidak mengikuti peraturan, gesekan itu akan terus terjadi,” katanya.

Kepolisian sudah membantah melarang warga  menjalankan kepercayaannya. Ibadah yang dilakukan perseorangan di rumah tidak masalah. Tetapi Juru Bicara Mabes Polri, Ronny Sompie, mengatakan, “Ketika ada ibadah yang dilakukan berjamaah, yang menyerupai kegiatan di tempat ibadah, apalagi rutin, itu disesuaikan dengan aturan yang ada.” Pernyataan Kapolri kata Ronny hanya bermaksud mengajak warga merujuk peraturan rumah ibadah yang berlaku.

Namun demikian, Ronny tetap tidak setuju bila kegiatan ibadah di rumah dibubarkan warga secara paksa. “Jangan ada tindakan anarkis. Tolong (kegiatan) itu dikonsultasikan dulu ke aparat setempat, apakah lurah atau RT RW, lalu ke Kepolisian,” kata Ronny. Dia menjamin Kepolisian bekerja menangkap pelaku intoleransi.
Sementara itu, Neta tidak percaya bahwa konflik-konflik rumah ibadah betul-betul urusan iman. Neta percaya masyarakat Indonesia mayoritas toleran. IPW mencatat kasus murni agama hanya 5-10%. Sisanya melibatkan kepentingan politik dan ekonomi. Seperti yang terjadi pada Julius, yang jadi tim sukses Capres dari PDIP Joko Widodo di Yogyakarta.

Neta berharap polisi bisa melakukan deteksi dini dan meredam konflik sebelum muncul ke permukaan. Neta berharap Kepolisian melindungi korban . Kepala daerah juga harus turun tangan menangani konflik di wilayahnya. Sebab Neta takut konflik Poso akan berlanjut di Yogyakarta. “Semoga tidak pindah ke Yogyakarta,” kata Neta.

Sementara di studio program “Agama dan Masyarakat” akan berakhir, di rumah Lona, teman-temannya satu per satu pamit pulang. Ibadah pekan ini usai dan mereka akan kembali Rabu depan.

Lona mengatakan kegiatan di rumahnya sudah berjalan lebih dari setahun dan tak pernah ada masalah. Dia berhubungan baik dengan tetangga. Namun demikian, dia tetap kuatir ada pihak tertentu yang tidak suka dan suatu saat membubarkan ibadah mereka. “Suatu saat itu akan terjadi,” katanya.

Ketika ditanya apakah dia takut diserang seperti Julius, Lona hanya berkata, “Ya hadapi saja.”

Editor: Fuad Bakhtiar

  • ibadah di rumah
  • kapolri soal larangan ibadah di rumah
  • direktur galang press
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!