INDONESIA

Pelajar Pakistan yang Kabur dari Pesantren

Pelajar Pakistan yang Kabur dari Pesantren
Pakistan, Pesanten, hukuman fisik, Naeem Sahoutara & Shadi Khan Saif

Waktunya sholat Isya di Rumah Penampungan Edhi di Karachi.


Bagi Rehmatullah Khan yang berumur sembilan tahun, ini mengingatkannya pada masa kecil yang menyakitkan.


Saat ia baru berusia tiga tahun, orangtuanya menyekolahkannya di sebuah pesantren di kota barat laut Quetta.


“Di pesantren, guru memukul saya dan siswa lainnya. Guru memukul kami kalau tidak bisa mengingat pelajaran atau membuat keributan. Pak guru kadang memukul kami dengan kayu dan kadang meninju saya, bila ada siswa lain mengadu padanya kalau saya membuat keributan di kelas.” 


Setelah enam tahun, dia melarikan diri. Ia berjalan sejauh 700 kilometer ke tempat penampungan ini.


Tubuh Rehmatullah dipenuhi bekas luka.


Bahkan telinga kirinya masih berdarah, pergelangan tangannya pun ada bekas luka berwarna gelap dan luka yang belum sembuh di kakinya.


“Ayah membawa saya ke Pesantren dan menurunkan saya di sana, meski saya menangis dan ingin pulang ke rumah bersamanya. Dia meninggalkan saya dan pergi. Saya dirantai, tangan dan kaki saya diborgol. Beberapa siswa lain juga dirantai.”


Secara resmi, ada delapan ribu pesantren swasta yang menjadi tempat belajar dan tinggal bagi sekitar dua juta siswa di Pakistan. 


Tapi ada lebih banyak pesantren yang tidak terdaftar. 


Tidak adanya sistem pengawasan pemerintah membuat aksi kekerasan di pesantren marak.


Usman yang berusia tujuh tahun tiba di tempat penampungan ini bulan lalu. 


“Suatu hari saya pergi ke toko, tapi lupa jalan pulang. Seseorang membawa saya ke Pesantren. Di sana, kalau melakukan kesalahan saya disiksa. Pada suatu hari Sabtu, saya melarikan diri dari sana. Dan seorang polisi membawa saya ke sini.”


Video ini diambil 2011 dan menunjukan upaya polisi menyelamatkan 43 pelajar yang dirantai di sebuah pesantren di Karachi.


Anwar Kazmi adalah Juru Bicara Yayasan Kesejahteraan Edhi. 

 

Selama empat dekade mengelola penampungan ini, ia kerap menyaksikan kasus serupa.


“Anak-anak mengalami hukuman fisik, pelecehan seksual atau dirantai. Kami menerima 30 sampai 40 anak yang melarikan diri setiap bulannya yang berasal dari seluruh negeri.”


Seorang guru bernama Farzana Faizal mengatakan anak-anak menderita trauma psikologis.


“Saya memperhatikan kalau anak-anak yang berasal dari pesantren punya perilaku yang sangat kasar dan agresif. Ini karena penyiksaan fisik membangun karakter mereka dengan cara kekerasan. Dalam situasi seperti ini, saya tetap tenang dan memanjakan mereka karena mereka tidak ada yang mencintai dan berada jauh dari orangtuanya. Penyiksaan itu telah merusak masa kanak-kanak dan kepribadian mereka.”


Di tempat penampungan ini, anak-anak diberi pendidikan agama secara terbatas sampai usia 16 tahun.


Bagi banyak anak, tinggal di sini merupakan satu-satunya pilihan.


“Kami rindu keluarga dan juga rumah. Kami ingin pulang ke rumah tapi kami tidak mau kembali ke pesantren.”



  • Pakistan
  • Pesanten
  • hukuman fisik
  • Naeem Sahoutara & Shadi Khan Saif

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!