BERITA

Kikis Stigma, Penyintas Covid-19 Ini Berani Ungkap Diri

Kikis Stigma, Penyintas Covid-19 Ini Berani Ungkap Diri

KBR, Jakarta - Emalia Mawar adalah satu dari sedikit penyintas Covid-19 yang berani membuka diri. Ia tak sungkan mengungkap pernah menjadi pasien positif Corona. Menurutnya, fakta itu bukan sesuatu yang memalukan. 

"Jadi saya langsung di Facebook saya bilang, saya pasien Covid-19," kata Lia.

Warga Bali ini justru ingin berbagi pengalamannya sembuh dari Covid, sekaligus mengikis stigma.

"Kalau kamu kena Covid, kamu tidak boleh takut paradigma masyarakat mengucilkan kamu. Jangan, kamu salah. Ke dokter, lebih baik sembuh. Jangan malu kalau memang kena Covid, nggak apa-apa, diobatin," tutur Lia.

Menurutnya, berbohong soal Covid bakal merugikan diri sendiri dan orang sekitar.

"Kalau dari awal (lapor) kamu bisa sembuh. Kalau kamu bohong, kamu sudah sesak nafas, nanti susah disembuhkan. Kasihan keluarganya kan," imbuhnya. 

Lia terjangkit Corona usai kembali dari luar negeri sekitar pertengahan Maret 2020. Ia mengaku tak tahu bagaimana riwayat bisa tertular. Apalagi, semua orang yang kontak dengannya, termasuk suami, malah dinyatakan negatif Covid. 

"Semua teman-teman saya yang pergi sama saya, ziarah. Mereka juga oke tuh (negatif). Suami, karyawan juga semua di-rapid tes, oke semua. Saya juga bingung kalau ditanya saya bisa kena dimana," ungkap pengusaha yang tinggal di Kuta Selatan ini. 

Setiba di Bali, Lia mulai terserang flu dan demam. Beberapa hari kemudian, ia mulai batuk disertai sesak nafas. Lia kemudian memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sanglah dan didiagnosis terjangkit pneumonia. 

"Dokternya bilang, isolasi di rumah saja. Jadi bapak sama ibu pisah dulu ya soalnya pneumonia kan juga virus jangan sampai bapaknya ikut. Akhirnya ada lima hari saya isolasi di rumah," kisahnya. 

Namun, demam dan sesak nafasnya makin menjadi. Lia putuskan meminta tes usap (swab) ke RSUD Sanglah. Di sana, ia dinyatakan positif Covid-19 dan langsung dirawat inap. 

"Saya lebih tenang. Suster dan dokternya juga (bilang) jangan takut, pasti Ibu bisa sembuh. Yang penting Ibu tenang, jangan banyak pikiran. Malah jujur saya takut waktu isolasi mandiri di rumah," kata dia.

Lia dirawat di ruang isolasi selama 17 hari. Ponsel pintar menjadi satu-satunya penghubung dengan dunia luar. Ia kerap menghabiskan waktu dengan menonton konten-konten Youtube dan berkomunikasi dengan keluarga. 

"Di kamar tidak ada televisi. Saya kebanyakan main handphone, lihat-lihat Youtube, video call sama keluarga, saudara. Mereka doain saya, kasih spirit. Kalau sakit Covid kan memang, satu ya, obat-obatan. Kedua, dukungan dari keluarga," ujar Lia.

Selama isolasi, Lia juga diajari untuk melakukan beberapa aktivitas sendiri. Hal ini sekaligus untuk mengurangi beban dan risiko tenaga medis tertular virus.

"Kalau ke toilet, makan, itu saya harus sendiri. Karena suster tidak bisa bolak-balik ke kamar kita. Kasihan juga, mereka mesti pakai alat pelindung diri, kan terbatas ya. Jadi suster ajarin saya dari awal. Kalau infus habis, saya turunin klem-nya. Tapi suster datangnya nanti saja, pas pakai APD," terang Lia.

Lia tak menampik banyak mendapat stigma dari masyarakat usai dinyatakan positif Covid. Ia juga kecewa identitasnya bocor ke publik saat masih berjuang melawan virus. Tekanan bertubi-tubi ini tak pelak membuat mentalnya ambruk. Terlebih, tes usap keempat Lia saat itu masih menunjukkan hasil positif. 

"Cuma yang saya sedih, kok nama lengkap saya bisa keluar. Dan yang lebih sadis lagi, foto saya bisa keluar. Bisa semua orang tahu. Jadi saya sedih juga. Sorenya, saya dapat hasil, saya masih positif. Wah saya down itu. Sebelah kamar saya, kiri kanan semuanya negatif, pulang hari itu. Saya sedih benar-benar sedih. Itu saya drop," ucap Lia. 

Pada tes usap keenam, Lia dinyatakan bebas Corona dan diperbolehkan pulang pada 19 April 2020. 

Usai sembuh, Lia pantang berdiam diri. Ia justru aktif menggalang dukungan bagi pejuang medis di garda terdepan. Lewat komunitas, Lia mengumpulkan donasi untuk pemenuhan APD bagi tenaga kesehatan. 

"Saya ada kerja sama komunitas di gereja. Akhirnya saya bikin penggalangan dana untuk APD. Saya maunya sih Bali dan Indonesia Timur yang lebih gampang," tambahnya. 

Lia juga antusias ikut mendonorkan plasma darah untuk membantu pasien Corona yang parah. Ia memastikan kesediaannya sebagai pendonor begitu dinyatakan memenuhi syarat.

"Pokoknya saya masuk syarat-syarat sebagai pendonor pasti saya lakukan untuk menolong sesama," pungkas Lia. 

  • COVID-19
  • pandemi covid-19
  • Coronavirus
  • penyintas covid-19
  • pasien sembuh covid-19
  • tenaga medis

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!