BERITA

Capres Saling Klaim Kemenangan, Begini Kerusuhan Pasca Pemilu di Kenya

"Di Kenya, ketegangan antara Capres pernah memicu aksi kekerasan massal. Akibatnya ribuan orang tewas, ratusan ribu mengungsi, dan ekonomi nasional mengalami krisis. "

Capres Saling Klaim Kemenangan, Begini Kerusuhan Pasca Pemilu di Kenya
Kerusuhan pasca Pemilu 2007 di Kenya, Afrika Timur. (Foto: http://kituochasheria.or.ke)

Aksi saling klaim kemenangan antara kontestan Pemilu tak hanya terjadi di Indonesia.

Aksi serupa juga pernah terjadi di Kenya, Afrika Timur, yang tragisnya berujung pada kerusuhan berskala nasional. Berikut kronologi singkatnya.


Pemilu Kenya Tahun 2007

Tahun 2007 Kenya menggelar Pemilu Presiden yang diikuti oleh dua Capres, yakni Mwai Kibaki (petahana) dan Raila Odinga (oposisi).

Mayoritas hasil survei dan exit poll menunjukkan bahwa Capres oposisi lebih unggul, meski perbedaan suaranya tipis.

Tapi pada Desember 2007, penyelenggara Pemilu setempat mengumumkan bahwa pemenang Pemilu adalah Capres petahana.

Beberapa jam setelah pengumuman, kubu oposisi langsung menyatakan penolakan terhadap hasil Pemilu.

Kubu oposisi menuding penyelenggara Pemilu telah melakukan kecurangan. Sedangkan kubu petahana mengklaim memenangkan Pemilu secara sah.

Ketegangan di antara elit politik kedua kubu pun terus meningkat, hingga memicu bentrok di kalangan masyarakat pendukung.


Dampak Kerusuhan Pasca Pemilu

Menurut data International Coalition for the Responsibility to Protect (ICRtoP), konflik Pasca Pemilu di Kenya telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dan membuat sekitar 500.000 orang mengungsi.

Kerusuhan juga menyebabkan krisis ekonomi nasional, mengganggu aktivitas pertanian, membuat jumlah panen merosot, serta menghambat distribusi logistik ke berbagai daerah.

Banyak orang kehilangan pendapatan, sementara harga pangan dan bahan pokok lainnya melambung tinggi.

Saat itu Kenya diperkirakan kehilangan pendapatan nasional sebesar $29 juta atau sekitar Rp419 miliar per harinya.

Industri pariwisata juga ikut ambruk. Ribuan wisatawan asing membatalkan rencana kunjungannya, membuat Kenya kehilangan potensi pemasukan $900 juta atau sekitar Rp13 triliun yang biasa mereka terima tiap tahun.


Masalah Ekonomi, Permusuhan Etnis dan Provokasi

Menurut ICRtoP, kerusuhan di Kenya bukan hanya dipicu oleh isu kecurangan Pemilu semata.

Sejak sebelum kerusuhan, Kenya memiliki tingkat pengangguran, buta huruf, kemiskinan, serta kesenjangan sosial yang tinggi.

Kehidupan politik di Kenya juga diwarnai konflik etnis sejak lama.

Kelompok etnis yang berkuasa cenderung mendiskriminasi etnis lain, entah itu lewat pembuatan kebijakan pembangunan yang tidak merata, ataupun pembagian hak atas lahan yang timpang.

Benih-benih perpecahan itu kemudian tumbuh kian subur karena gencar diprovokasi kalangan elit politik.

Menurut laporan Kenya National Commision on Human Rights (KNCHR) selama masa kampanye para kontestan Pemilu banyak menyampaikan hasutan-hasutan berisi ujaran kebencian.


Rekonsiliasi: Tiap Kubu Dapat Jabatan

Januari 2008, konflik antar para Capres Kenya ini akhirnya ditengahi oleh Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB kala itu.

Setelah beberapa kali bertemu, kedua kubu lantas sepakat untuk menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan pada akhir Februari 2008.

Perjanjian “perdamaian” itu menetapkan Capres petahana, Mwai Kibaki, sebagai Presiden. Sedangkan Capres oposisi, Raila Odinga, menjadi Perdana Menteri.

Mereka pun sepakat membentuk sejumlah komisi untuk penyelidikan kekerasan pasca Pemilu, rekonsiliasi, serta pengawas Pemilu independen.

Upaya penyelidikan dan pemulihan Kenya dari kerusuhan pasca Pemilu 2007 berlangsung hingga bertahun-tahun setelah peristiwanya terjadi.

Sampai tahun 2016, organisasi HAM setempat bahkan masih menyuarakan  bahwa ada korban-korban yang belum kunjung mendapat keadilan

  • Pemilu
  • kecurangan pemilu
  • kerusuhan pemilu
  • Kenya

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!