Hendriyadi Bahtiar, penggagas Sahabat Pulau di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Foto: KBR.

SAGA

Hendriyadi Bahtiar: 'Melahirkan Inovator Muda Lewat Sahabat Pulau'

Jumat 25 Mei 2018, 12.00 WIB

KBR, Jakarta - Memori buruk saat Sekolah Dasar (SD) menyergap Hendriyadi Bahtiar begitu kembali ke kampung halamannya di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 2011 lalu. Seketika, pemuda 28 tahun itu teringat akan masa kecil yang jauh dari informasi dan sulitnya akses pendidikan. Bahkan nyaris putus sekolah.

Tapi karena dorongan yang besar, Hendri meraup sederet beasiswa. Mulai dari kuliah di Universitas Trisakti Jakarta. Lantas pada 2009, mengikuti pertukaran pelajar ke Kanada. Setahun berikutnya ikut berlayar ke beberapa pulau lewat program Kementerian Pemuda dan Olahraga; Kapal Pemuda Nusantara. Setelahnya ke Amerika Serikat melalui beasiswa Indonesia English Language Study Program (IELSP). 

Namun begitu pulang dari rantau, ia kaget. Sebab bertahun ditinggal, kondisi pendidikan di kampungnya tak banyak berubah. Di pesisir Bulukumba itu, anak-anak masih saja sukar beroleh informasi. Misalnya, akses terhadap bahan bacaan. 

“Saya mengalami bagaimana susahnya mengakses buku. Dan kondisi itu masih saya temukan di kampung saya di Wakatobi, di Maluku, dan yang lain,” ungkap Hendri.

Menyedihkan karena buku yang dibaca bocah-bocah itu, kedaluwarsa. Bahan bacaan tersebut adalah buku yang juga ia baca kala SD. Hendri pun merasa harus berbuat sesuatu. Kalau tidak, ia merasa bersalah seumur hidup pada tanah kelahirannya. 

“Saya sudah ke mana-mana, masak tidak melakukan apa-apa,” katanya saat itu meyakinkan diri.

Maka pada 2012, Hendri menggagas Sahabat Pulau –sebuah organisasi berisi kumpulan anak muda yang bertekad mengurai masalah pendidikan di berbagai daerah. Utamanya di kawasan pesisir. Dia lalu mulai memetakan jaringan, mengumpulkan anak muda setempat, kawan seprogram beasiswa, dan menghubungi kolega.  

Gagasan pertamanya itu dinamai Youth Volunteer Camp. Yang nantinya menjembatani relawan lokal atau anak asli pulau dengan relawan kota lain, bahkan relawan internasional. Relawan dari luar pulau mestilah tenaga ahli atau profesional dari beragam latar. Tujuannya, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan relawan setempat. 

“Misalnya pelatihan organik, kami akhirnya cari link, buka akses, di mana bisa belajar bertani organik. Itu semua gratis. Lalu nanti relawan mengembangkannya di daerahnya.”

Total ada 300 relawan lokal yang terlibat di Sahabat Pulau. Sedang relawan luarnya ada 30an orang yang berasal dari Kanada, Nepal, dan AS. 

Dan karena dasar gerakan ini sukarela, maka mereka harus punya keahlian lain. Ini demi menopang kebutuhan ekonomi. Itu mengapa ada program pemberdayaan wirausaha sosial. Di sini, relawan lokal diajari tentang budidaya hidroponik, pertanian organik, olahan pangan lokal, hingga pembuatan suvenir. 

Program lain kemudian menyusul, yaitu Rumah Baca. Formatnya serupa perpustakaan desa. Ada rumah atau ruangan yang bisa ditempati dan menyediakan buku-buku. Anak-anak kampung bebas membaca atau sekadar main. Hingga kini sudah ada 28 Rumah Baca yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Hendriyadi Bahtiar, kini memilih jadi pekerja lepas. Padahal sebelumnya ia menduduki posisi mapan di salah satu bank swasta internasional. Tapi tekad mengembangkan Sahabat Pulau, membuatnya mengundurkan diri pada 2014. Baginya, itu adalah keputusan berat yang penuh perhitungan.  

Pilihannya mundur, rupanya tak mengecewakan. Ia lebih fokus mengelola Sahabat Pulau. Bahkan setahun setelahnya, Hendri berhasil meyakinkan Presiden Intel Foundation untuk memberikan bantuan teknologi bagi Sahabat Pulau di Bulukumba.

“Bahwa kami butuh lab untuk memberikan akses bagi inovator-inovator muda di Bulukumba dan sekitarnya." 

red

Pada 2016, Sahabat Pulau akhirnya punya Lab Inovasi. Intel Foundation, bagian dari Intel--perusahaan multinasional berbasis inovasi teknologi--itu menjanjikan dukungan piranti untuk ide, inovasi, dan kreatifitas remaja lokal. Cita-cita yang didamba, mengingat remaja Bulukumba kerap memenangi ajang Karya Ilmiah Remaja.

Sayembara gagasan pun dibuka, 70an ide masuk. Ketika KBR kesana pada pengujung 2017 lalu, lab inovasi belum jadi. Bangunan bantuan dari Pemkab Bulukumba itu masih dalam proses pengecatan. Tapi diskusi soal ide-ide inovasi itu tetap berlangsung di taman kota.

Di sana, puluhan remaja usia SMA meleseh di rumput taman, membentuk tiga lapis lingkaran. Ada papan putih bergambar kerangka pikir dan percabangan gagasan. Beberapa anak tampak memegang botol air dan kabel, juga bohlam lampu. Mereka sedang mencoba ide Nakotanar.

“Nakotanar (Natrium Klorida Automatic) itu, semacam listrik tenaga dari air garam. Nanti bisa dikembangkan menjadi pembangkit listrik tenaga air laut. Sebab pulau-pulau terluar kesulitan untuk suplai listrik, jadi nanti coba dimodifikasi pembangkit listrik itu,” tutur salah satu relawan Sahabat Pulau, Fina Irmawati. 

Selain Nakotanar, ada juga ide tentang mesin pembuka cokelat untuk menghindari getah yang beracun atau teknologi penghalau babi hutan. Sebab selama ini pengusiran menggunakan kawat listrik justru membahayakan. Selain itu, ada pula alat pendeteksi kualitas air tambak.

Gagasan-gagasan itu akan dikurasi untuk selanjutnya dikembangkan menjadi prototipe. Salah satu yang sudah dibikin purwarupanya adalah ide Fina. Namanya Juku Tech. Teknologi ini bertujuan meningkatkan tangkapan ikan nelayan.

Juku Tech, punya sensor yang mampu mengumpulkan informasi ketersediaan ikan di sekitar rumpon lantas mengirimkan informasi ke telepon genggam nelayan. Dengan begitu, nelayan langsung menuju titik-titik rumpon tersebut. Selain langsung dapat banyak tangkapan, nelayan juga bisa menghemat bahan bakar karena tahu lokasi berkumpulnya ikan.

Inovasi teknologi bukan semata canggih-canggihan. Hendri mengingatkan, yang utama adalah kegunaannya bagi masyarakat. Jika di Bulukumba, remaja bisa mengulik persoalan di bidang perikanan, pertanian, dan kesehatan. 

Kelak, Hendri berharap, setiap inovasi dari anak-anak muda itu tak berhenti pada prototipe. Melainkan bisa menawarkan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang nyata di masyarakat.

“Jangan bikin teknologi dulu baru liat masalahnya. Banyak-banyaklah turun ke desa, lihat-lihat dan tanya ke warga. Bikinlah teknologi untuk menyelesaikan masalah,” harapnya.

 

	<td>Ika Manan&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: