Article Image

SAGA

Fira Tyas: 'Sikola Mombine Jadikan Perempuan Pemimpin'

Fira Tyas Ningtriutari, pengajar Sikola Mombine di Desa Malitu. Foto: KBR.

KBR, Jakarta - Sepasang tangan perempuan mengaduk cairan kental kecokelatan dalam wajan berukuran jumbo. Sesekali terdengar obrolan dari orang-orang yang berteduh di bawah teratak kayu beratap rumbia. Bangunan dengan tiang-tiang penyangga itu dibuat untuk memproduksi gula aren. Hasil olahan pohon nira itu, akan dijual melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Malitu, Poso.

Malitu, adalah satu dari 23 desa bimbingan Sikola Mombine –ruang belajar untuk pemberdayaan perempuan. Dan, mengolah Nira jadi salah satu kegiatan belajarnya. Sikola Mombine diambil dari Bahasa Kaili –salah satu etnik di Sulawesi Selatan— yang artinya, sekolah perempuan.

Sebagai sekolah, Sikola Mombine menjadi ruang belajar yang amat cair. Bukan saja soal waktu belajar yang disesuaikan dengan jadwal murid-muridnya, tapi juga terkait kurikulum pembelajaran.

Tapi jangan bayangkan sekolah ini diisi dengan perempuan-perempuan remaja. Dari 15 murid, sebagian besar justru ibu rumah tangga berusia 30 atau 40an tahun. Sedangkan gurunya, berusia separuh usia para murid. Pengajar di Malitu, adalah Fira Tyas Ningtriutari.

“Jadi kelas belajar itu fleksibel, kelas di mana saja. Maka kami membuat Balai Belajar Kampung, karena filosofinya kampung itu laboratorium belajarnya. Waktunya tergantung kesepakatan ibu-ibu,” terang Fira.

Di sini, Fira bertugas sebagai pengampu kurikulum, juga mendampingi ibu-ibu di pelbagai desa di Palu dan Poso. Malitu hanya salah satu. 

Materi di sekolah perempuan ini awalnya seputar keterwakilan dan peran perempuan di lingkungan terkecil, semisal keluarga atau pemerintahan desa. Mengingat sejarah lahirnya Sikola Mombine memang karena terpinggirkannya suara perempuan dalam proses politik.

Tapi pada 2015 –selang tujuh tahun sejak didirikan 2009 silam, kurikulum itu dimodifikasi. Empat tahun berinteraksi dengan ibu-ibu membuat Fira kepikiran untuk merombak metode, yakni dengan pendekatan ekonomi. Produksi gula aren, salah satu yang dicoba. Mulai dari belajar mengolah pangan lokal, memikirkan pemasaran hingga penghitungan harga pasar. 

Perombakan metode pendekatan itu pun tak instan. Fira sempat harus bongkar-pasang materi mencocokkan dengan permasalahan juga kultur di masing-masing kelompok perempuan.

“Di Desa Malitu contohnya, ada beberapa ibu-ibu yang kami latih mengadvokasi anggaran. Pertama, mereka harus mampu menyuarakan pendapat di Musrenbang, tidak hanya hadir,” jelas perempuan yang juga mendampingi ibu-ibu di Kabupaten Donggala, Parigi, Sigi dan Kota Palu tersebut.

Saat saya menemani Fira seharian, beberapa kali dia tampak mengetik pesan pendek atau, menelpon ibu-ibu dampingannya. Ia menganggap, komunikasi dengan mereka adalah bagian penting yang harus terus dijaga. Paling tidak menurutnya, pertemuan tatap muka wajib digelar dua kali dalam sebulan.

Tak pelak ketelatenan pendampingan selama bertahun itu berbuah hasil. Perempuan dampingan Fira ada yang sudah jadi paralegal korban kekerasan. Sementara salah satu anggota di Malitu, Hasira sejak 2016 menjadi bagian dari perangkat desa.  

red

Sikola Mombine masuk ke Malitu 2014, saat itu pula Hasira bergabung. Ibu rumah tangga yang kini menjadi Bendahara BUMDes Malitu itu, sedang getol mendorong pemanfaatan dana desa, salah satunya untuk memaksimalkan pengrajin gula aren dan, membuka kios serba usaha. 

“Kalau berdiri, gemetaran kaki saya. Sekarang saya sudah terbiasa bicara, tidak gemetaran lagi,” Hasira tersipu.

Hasira mengaku baru bernyali setelah setahun bergabung di Sikola Mombine. Tetangga desa pun, jadi tertarik karena melihat Hasira yang sering dikirim pelatihan ke luar kota.

“Sekarang sudah banyak yang melirik, apa sih kegiatannya Ibu Hasira ini? Saya diundang ke Palu, Jakarta, sampai ke mana-mana,” ceritanya bangga.

Sementara Kepala Desa Malitu, Elpius Apandano, mengaku terkesima atas perubahan bertahap para ibu tersebut. Ia sempat kaget saat pertama kali, ada warganya yang perempuan, berani bicara di tengah musyawarah desa.

 

Elpius juga memuji usulan ibu-ibu itu, mulai dari studi banding ke desa lain untuk proses produksi olahan pangan lokal, antisipasi banjir hingga rencana warung obat desa—sejenis apotek. Yang juga menggembirakan, Poli Bersalin Desa (Polindes) kini sudah berdiri di Malitu, berkat usulan ibu-ibu. 

Kembali ke Fira. Perempuan 24 tahun ini bergabung di Sikola Mombine sejak 2012. Bermula dari kegiatannya di Banua Ananggodi –komunitas untuk anak dan remaja pasca Konflik Poso. Dari situlah persentuhan dengan dunia pengorganisiran diawali. Didampingi Mutmainah Korona, pegiat hak-hak perempuan dan anak, Fira yang masih ABG mulai mempelajari isu keberagaman, ekologi, juga gender.

Saat konflik terjadi, Fira masih usia SD. Dia jengkel karena harus pindah sekolah berulang kali dan, kehilangan teman-temannya. Tapi karena itu pula dia paham, bahwa ruang belajar tak terbatas pada sekolah formal belaka. Begitulah ia kemudian masuk ke Banua Ananggodi.

“Saat itu saya merasakan pindah-pindah sekolah karena kami juga harus tetap melangsungkan pendidikan meski situasi tidak aman. Dari situ saya berefleksi kalau pendidikan tidak hanya dari sekolah,” kenangnya.

Alih-alih menghabiskan waktu dengan kawan seusianya, perempuan jurusan Matematika ini memilih bergaul dengan ibu-ibu dampingannya. Bagi Fira, desa-desa di Sulawesi Tengah menjadi laboratorium belajar yang menyimpan banyak kekayaan. 

	<td>Ika Manan&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: