BERITA

Hari Kebebasan Pers Dunia, Amnesti Internasional: Kekerasan di Papua Warisan Lama

Hari Kebebasan Pers Dunia, Amnesti Internasional: Kekerasan di  Papua Warisan Lama


KBR,  Jakarta- Kekerasan  intimidasi dan intimidasi terhadap jurnalis   di Papua karena   ketakutan  aparat keamanan. Menurut Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Perwakilan Indonesia Usman Hamid, masih kentalnya kekerasan dan intimidasi tidak bisa dihilangkan begitu saja. Meskipun presiden Joko Widodo sudah menyatakan Papua bisa dimasuki jurnalis asing.

"Memang ada semacam warisan yang lama yang tidak bisa diubah serta merta begitu saja oleh pemerintahan yang baru. Presiden Jokowi misalnya sudah secara tegas Papua terbuka untuk penelitian dan peliputan wartawan dari mana pun termasuk wartawan internasional. Tetapi kita tahu juga bahwa masih terjadi hambatan-hambatan terhadap akses jurnalis internasional," jelas Direktur Eksekutif Amnesti Internasional perwakilan Indonesia Usman Hamid kepada KBR,  Selasa (2/5).

Usman melanjutkan, "saya kira tidak lama setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan Papua terbuka bagi jurnalis asing,  Kemendagri mengeluarkan aturan untuk membatasi. Meskipun aturan itu dicabut lagi. Tetapi secara praktis dari banyak laporan yang masuk AJI dan ke kantor kami Amnesti Internasional masih memperlihatkan sulitnya akses ke Papua."

Baca: Impunitas Aparat

Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Perwakilan Indonesia Usman Hamid menambahkan, pelaku kekerasan dan intimidasi di Papua sebagian besar dilakukan aparat keamanan. Selain itu, pemerintah juga membreidel media Daring di Papua. Di antaranya media informasi Komite Nasional Papua Barat, KNPB News.com. Media   itu dianggap pemerintah menghasut dan menyebarkan kebencian dan anti NKRI.

"Mereka ditutup aksesnya. Sampai akhirnya mereka tidak bisa urus domainnya. Alasannya media dianggap media KNPB berisi ajakan kemerdekaan,  tidak mengakui adanya NKRI. Tidak ada alasan kekerasan atau pornografi yang biasa digunakan pemerintah dalam menutup konten online," katanya.


Menurut jurnalis  Papua Victor Mambor, kekerasan terhadap jurnalis di Papua sulit ditekan. Hingga April terdapat 5 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kata dia,  tidak ada kasus kekerasan jurnalis tuntas hingga proses pengadilan.


"Akses wartawan yang terbatas,  kekerasan terhadap wartawan, diskriminasi terhadap   wartawan asli Papua,  diskriminasi wartawan yang bukan asli Papua. Kalau mau liput gerakan Papua Merdeka akan kena masalah. Wartawan asli Papua juga mau minta konfirmasi ditolak malah ditangkap dan dipukuli.  Suap. Kemudian penutupan website. Menurut saya tidak seperti yang orang pikirkan tentang Indonesia. Menurut saya itu harus lebih terbuka, " ujar jurnalis Papua Victor Mambor kepada KBR,  Selasa (2/5/2017).

Baca: Larangan Jurnalis Asing Liput Papua

Impunitas Aparat

Jurnalis senior Papua Victor Mambor menambahkan, naiknya peringkat Indonesia dalam kebebasan berekspresi dan jurnalis. Berbeda jauh dengan kondisi jurnalis di Papua. Bahkan,  mereka harus berhati-hati dalam memberitakan informasi soal Papua.

"Indonesia kan peringkatnya naik terus dari 130 menjadi 126 sebelumnya 136. Jadi itu pasti menurut saya tidak termasuk Papua. Kita lapor tidak ada kasus yang selesai. Jelas wartawan dilindungi Undang-Undang," katanya.

Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah peringatan hari Kebebasan Pers dunia. Sebanyak 800 delegasi dari 100 negara hadir.

Editor: Rony Sitanggang 

  • Hari Kebebasan Pers Sedunia
  • Jurnalis Papua Victor Mambor
  • Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Perwakilan Indonesia Usman Hamid

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!