BERITA

JPPR: Pemilu Tahun Ini, Politik Uang Makin Variatif

JPPR: Pemilu Tahun Ini, Politik Uang Makin Variatif

KBR, Jakarta – Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mencatat ada politik uang di 335 Tempat Pemungutan Suara di Pemilu Legislatif tahun ini. Bentuknya mulai dari membagikan uang, barang hingga asuransi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga sudah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). 


Bagaimana lengkapnya pemantauan JPPR di Pemilu Legislatif 2014 ini? Simak wawancara dengan Manajer Pemantauan JPPR, Masykurudin Hafidz. 


Pantauan sampai saat ini catatan dari JPPR berapa banyak kasus pelanggaran pemilu selama hari H sampai sekarang?


“Di kita itu sampai sekarang ada 1.005 TPS yang masuk dari 25 provinsi. Lalu kita kategori menjadi lima berkaitan dengan data pemilih, logistik pemilu, politik uang, pemahaman KPPS soal pemungutan dan penghitungan, dan situasi TPS. Khusus untuk politik uang ini memang dibandingkan dengan pemilu 2009 sekarang jauh lebih masif, vulgar, di atas meja, dan terang-terangan.”


“Politik uang paling banyak dan variatif, kalau khusus di politik uang itu dari 1.005 TPS itu 335 TPS terjadi politik uang. Waktunya memang kita perluas dari sore sampai malam, pagi sampai hari H. Itu sangat banyak terjadi baik uang, barang atau pun cara lain yang model baru adalah dengan cara asuransi. Artinya di surat undangan pemilu itu ada semacam kartu asuransi yang dimana tertulis betul pemilihnya, alamatnya, tertulis kantor pusat asuransinya, dan tertulis nama calonnya ini modus baru. Kalau uang itu memang dari Rp 10 ribu sampai Rp 200 ribu, kalau barang ya sembako, sembako, alat ibadah, dan sebagainya. Tapi dari daerahnya hampir merata di 25 provinsi ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku.”


Kalau yang Rp 10 ribu ini di mana?


“Ada di Lombok Timur, Probolinggo, Kota Tangerang. Tapi teorinya kalau yang soal jumlah, jadi semakin luas daerah pemilihan itu semakin sedikit uangnya. Misalnya DPR RI untuk politik uangnya paling besar Rp 50 ribu karena pemilihnya banyak. Tapi kalau caleg untuk DPRD kabupaten/kota itu jumlahnya besar karena pemilihnya sedikit daerah pemilihannya kecil itu kira-kira dari Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Makanya kalau kita lihat caleg-caleg yang stres itu yang uangnya sedikit tapi pengeluarannya banyak, itu caleg-caleg DPRD kabupaten/kota. Karena mereka uangnya pas-pasan lalu mengeluarkannya banyak.” 


Sudah punya catatan berapa banyak caleg-caleg yang stres ini? 


“Kalau yang stres belum kita hitung tapi kalau dari pemberitaan itu ternyata banyak juga sampai sekarang ada sekitar 400 yang masuk ke pesantren.” 


Apakah catatan JPPR ini akan direkomendasikan ke Bawaslu? 


“Secara prinsip kalau di Bawaslu kita harus menyertakan bukti-buktinya pelakunya siapa, terjadi di daerah mana, dan sebagainya. Termasuk soal situasi di TPS itu misalnya kesalahan menulis, logistik yang kurang, termasuk juga politik uang. Kita sedang melengkapi data-data itu karena ini terjadi di seluruh Indonesia. Sore atau siang ini akan kita laporkan ke Bawaslu agar menjadi catatan oleh Bawaslu, biasanya temuan kita dilempar ke Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota dimana kejadian itu terjadi.” 


Dengan kartu asuransi itu lebih mudah diidentifikasi tapi ya?


“Iya lebih mudah diidentifikasi tapi kalau masuk ke wilayah hukum agak susah. Misalnya asuransi itu mungkin bisa kita sebut sebagai bentuk politik uang tetapi di kategorinya dia masuk ke janji. Jadi kalau kita sebut apa itu uang atau barang, kan kartu asuransi tidak masuk karena uang dan barang harus bisa digunakan. Dia bisa masuk ke level janji, tapi untuk janji itu harus diucapkan sementara kartu tidak bisa ngomong sendiri karena tidak bisa ngomong sendiri dia harus disertai pemberinya. Pemberinya itu apakah peserta pemilu atau caleg, kalau pemberinya orang biasa yang disuruh ya itu tidak kena karena dia harus masuk caleg peserta pemilu atau tim kampanye.”


“Di sinilah sebenarnya kerumitan penegakan hukum kita terutama di politik uang. Oleh karena itu seperti kita semua yang mengungkap model begini meskipun tidak sampai menjerat pelakunya tapi setidaknya ini menjadi catatan kita bahwa caleg-caleg atau partai model seperti ini sesungguhnya tidak layak untuk menjadi wakil kita. 


Sejauh ini laporan pelanggaran atau dugaan politik uang dan pidana pemilu lainnya berapa banyak yang ada pelapornya?


“Kalau dari masyarakat sipil itu tidak lebih dari 10 persen. Kalau yang masuk ke Bawaslu dan kalau disertakan ke kepolisian itu juga tidak lebih dari 5 persen.” 


Artinya itu akan jadi masalah? 


“Akan sangat jadi masalah. Karena dalam konteks penanganan pelanggaran Bawaslu harus menyertakan pihak kepolisian dan kejaksaan yang biasa kita sebut Gakkumdu itu. Dari catatan JPPR tidak lebih dari 5 persen pelanggaran pemilu termasuk politik uang yang kemudian ditangani secara bersama dan sukses untuk dilaksanakan semuanya pasti kurang bukti entah itu pelakunya, materinya, ungkapannya, dan sebagainya. Inilah sebenarnya ruang gelap di kita penanganannya sangat lemah, sentra Gakkumdu juga tidak bisa menyelesaikan masalah sementara aspek praktik-praktik pelanggaran pemilu di lapangan sangat tinggi. Kemungkinan juga kita sangat tahu penanganan pelanggaran itu memang didesain sejak awal agar tidak bisa untuk menjerat para pelanggar pemilu itu.” 


  • JPPR
  • pelanggaran pemilu
  • Pemilu 2014

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!