RUANG PUBLIK

Tolak Diskriminasi Sawit, Menko Perekonomian Datangi Markas Uni Eropa

Tolak Diskriminasi Sawit, Menko Perekonomian Datangi Markas Uni Eropa
Menko Darmin bersama delegasi CPOPC di Brussel, Belgia (8/4/2019) (Foto: ekon.go.id)

KBR, Jakarta - Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, melakukan kunjungan ke kantor pusat Uni Eropa di Brussel, Belgia, Senin lalu (8/4/2019).

Kunjungan ini terkait penolakan Indonesia terhadap kebijakan energi baru Uni Eropa Renewable Directive Energy (RED) II.

Delegasi Indonesia akan mengadakan pertemuan dengan komisi, parlemen dan dewan Eropa, serta berbagai stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok industri sawit di pasar Uni Eropa.

Indonesia juga datang bersama sejumlah delegasi dari negara produsen sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC).

Delegasi Malaysia dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Utama Malaysia, sementara delegasi Kolombia dipimpin oleh Duta Besar Kolombia di Brussel.


Sekilas Tentang RED II

Sebelumnya, kebijakan RED II telah mengklasifikasikan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan (sustainable).

Pola produksi sawit dianggap memberi banyak dampak negatif bagi lingkungan, menyebabkan deforestasi, serta menghasilkan emisi karbon hingga tiga kali lipat dari pembakaran bahan bakar fosil.

Karena alasan itu, Uni Eropa mendorong negara-negara anggotanya agar mengurangi konsumsi biodiesel sawit dan menghentikannya secara total pada tahun 2030 mendatang.


Baca Juga: 5 Alasan Uni Eropa Tolak Biodiesel Sawit


Penolakan Negara Produsen Sawit

Meski RED II disusun dengan dalih perlindungan lingkungan, negara-negara CPOPC menganggap kebijakan itu sesungguhnya bersifat diskriminatif dan merugikan banyak pihak.

Sebagaimana dilansir situs resmi Kemenko Perekonomian, negara CPOPC menolak RED II dengan pertimbangan:

1. RED II dianggap sebagai hasil kompromi politik Uni Eropa yang bertujuan mengisolasi minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan. CPOPC menduga langkah ini dibuat demi menguntungkan industri minyak rapeseed asal Uni Eropa dan minyak nabati lain yang kurang kompetitif.

2. RED II dianggap diskriminatif secara ilmiah. Dengan sengaja hanya berfokus pada industri kelapa sawit, tanpa membahas masalah lingkungan yang ditimbulkan dari industri minyak nabati lain.

3. RED II dianggap  bisa mengganggu kerjasama perdagangan internasional, serta menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan agenda PBB lain yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Karena alasan-alasan itu, CPOPC menilai bahwa kebijakan RED II patut dipertanyakan kelayakannya.

CPOPC juga menduga kebijakan ini tidak berlandaskan pada sains murni, melainkan dipengaruhi oleh motif proteksionisme.

(Sumber: https://ekon.go.id)

  • minyak sawit
  • biodiesel
  • RED II
  • Uni Eropa

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!