RUANG PUBLIK

Politik Keagamaan Tidak Efektif untuk Kampanye Pemilu, Ini Surveinya

"Menurut survei CSIS, massa pendukung Aksi Bela Islam sudah punya pilihan partai dan presiden yang berbeda-beda. Pilihan mereka tidak hanya ditentukan politik keagamaan semata."

Adi Ahdiat

Politik Keagamaan Tidak Efektif untuk Kampanye Pemilu, Ini Surveinya
Massa pendukung Aksi 212 di Monas, Jakarta (2/12/2016). Menurut survei CSIS, dalam Pemilu 2019 ini mereka punya pilihan partai dan presiden yang berbeda-beda (Foto: ANTARA).

Isu keagamaan tidak efektif untuk memobilisasi pemilih dalam Pemilu 2019.

Hal itu dijelaskan Arya Fernandes, peneliti CSIS, melalui laporan riset berjudul Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas (2019).

Menurut riset Arya (2019), massa pendukung Aksi Bela Islam atau Aksi 212 kini punya pilihan politik yang beragam. Pendukung Aksi 212 juga tidak terlalu dipengaruhi dorongan politik keagamaan dalam memilih partai dan presiden. Berikut paparan singkatnya.


Politik Keagamaan dalam Pilkada

Jika berkaca pada sejumlah kasus masa lalu, politik keagamaan nampak menjadi faktor yang kuat dalam mengarahkan keputusan pemilih.

Dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, misalnya. Menurut catatan Arya (2019), pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno saat itu menang di kelurahan-kelurahan yang jumlah pemilih muslimnya banyak.

Sedangkan Ahok, pada saat itu disebut hanya mendapat sedikit suara dari kantung-kantung pemilih muslim.

Hal serupa ditemukan terjadi juga di daerah-daerah lain seperti Jawa Barat dan Kalimantan Barat.

Menurut penelitian CSIS tahun 2018, isu perbuatan musyrik yang dialamatkan pada salah satu calon bisa mempengaruhi turunnya perolehan suara dalam Pilkada.


Politik Keagamaan dalam Pemilu 2019

Meski politik keagamaan sempat terlihat dominan di beberapa momen Pilkada, lain halnya dengan di Pemilu 2019 sekarang.

Berdasarkan hasil survei CSIS, Arya (2019) menemukan bahwa pilihan massa pendukung Aksi 212 terdistribusi pada kedua Capres, baik Jokowi maupun Prabowo.

Pendukung Aksi 212 yang berbasis di Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan dukungan yang tinggi kepada Jokowi. Sementara pendukung Aksi 212 di Sumatera Utara dan Jawa Barat lebih condong ke Prabowo.

Dari sejumlah provinsi yang disurvei, ada juga daerah-daerah kantung pemilih muslim yang menunjukkan dukungan imbang terhadap kedua Capres.

Begitupun halnya dengan pilihan partai. Menurut Arya (2019), para pendukung aksi 212 tidak serta-merta memilih partai yang diasosiasikan dekat dengan "Aksi Bela Islam" tersebut.

Alih-alih kompak memilih partai Islam, suara pendukung Aksi 212 nyatanya terbagi juga pada partai-partai berideologi nasionalis seperti Gerindra, PDIP dan Golkar.


Kenapa Politik Keagamaan Tak Lagi Efektif?

Menurut Arya (2019), ada sejumlah faktor yang membuat politik keagamaan tidak begitu efektif dalam Pemilu 2019.

Dari sisi partai, hal ini dipengaruhi oleh kenaikan parliamentary threshold dari 3,5 persen menjadi 4 persen. Peningkatan batas minimal suara itu membuat partai-partai melancarkan strategi kampanye yang menyasar semua lapisan pemilih. Dengan demikian isu-isu keagamaan tidak terlalu ditonjolkan.

Dari sisi Capres, Arya (2019) menilai baik Jokowi maupun Prabowo lebih banyak menaikkan isu ekonomi seperti harga sembako, kemiskinan dan lapangan pekerjaan. Isu-isu tersebut dinilai lebih relevan dengan masyarakat ekonomi lemah.

Sedangkan dari sisi pemilih, menurut Arya (2019) masyarakat kini lebih menaruh perhatian pada karakter pemimpin jujur dan anti-korupsi, ketimbang pemimpin yang taat beragama.

(Sumber: Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas; www.csis.or.id)

  • Pemilu 2019
  • Jokowi
  • Prabowo Subianto
  • aksi 212
  • partai politik

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!