BERITA

2014-04-24T14:05:34.000Z

Korban 65, Nani Nurani: Saya Bukan Pengkhianat Bangsa

"KBR68H, Jakarta "

Korban 65, Nani Nurani: Saya Bukan Pengkhianat Bangsa
korban 65 nani nurani, korban pelanggaran HAM 65, pelanggaran HAM berat

KBR68H, Jakarta – Puluhan tahun sudah para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1965/ 1966 berjuang menuntut pemulihan nama baik dan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Salah satu tuntutan itu adalah meminta Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapus Putusan Mahkamah Agung Nomor 400 tahun 2004 yang menyatakan keterlibatan sejumlah nama dalam organisasi terlarang (PKI). Harapan itu semakin kuat, terlebih menjelang detik-detik akhir rezim SBY berkuasa. Mungkinkah keajaiban itu terjadi?

Pagi itu seorang perempuan tua duduk di lobi gedung KBR68H, yang berlokasi di Jl. Utan Kayu Utara, 68D, Jakarta Timur. Saat itu sekitar pukul 08.30 WIB. Perempuan itu adalah Nani Nurani, salah satu korban pelanggaran HAM 65/ 66. Perempuan berkacamata tersebut ketika itu mengenakan kebaya warna biru. Maklum, saat itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, 21 April. Rambutnya sudah memutih. Usianya saat ini sudah 73 tahun. Namun, semangat hidupnya masih terpancar jelas di raut wajahnya.

Ibu Nani begitu ia biasa dipanggil, menjelaskan apa yang dialaminya saat dicap sebagai anggota organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Tahun 1968 saya ditangkap. Dan kemudian dibawa ke Bogor, Bukit Duri dan beberapa tempat. Saya di penjara tujuh tahun tanpa tahu apa kesalahan saya? Waktu itu saya meminta bukti jika saya bersalah, atau terlibat PKI. Namun tidak ada yang bisa menjelaskan dan memberi bukti itu,” katanya, Senin (21/4) di Jakarta Timur.

Saat itu, tuturnya, ia adalah pekerja seni. Pada Juni 1965, Ibu Nani diminta menyanyi dalam acara ulang tahun PKI di Cianjur, Jawa Barat. PKI saat itu masih organisasi yang sah.

“Saya menyanyi karena saya memang penyanyi dan abdi seni. Saya juga pegawai di Dinas Kebudayaan. Apa salahnya saya menyanyi? Mungkin saat itu sudah takdir, setelah nyanyi saya pindah ke Jakarta. Sehingga begitu terjadi G30S PKI, itu tuduhannya saya dibawa ke lubang buaya, dituduh terlibat Gerwani, Lekra dan sebagainya. Itu fitnah yang luar biasa bagi saya dan keluarga,” ujar Bu Nani.

Beruntung, ujarnya, saat itu ia sudah bekerja di perusahaan yang dipegang oleh Kodam V Jaya, Kejaksaan Agung dan Kodam VI Siliwangi dan Veteran. “Tahun 1966, ayah saya dijadikan sandera. Saya pun melapor, mengirim surat, tapi enggak dibalas. Kalau enggak ada balasan surat, berarti ada apa? Akhirnya tahun 1968 saya ditangkap. Namun, ketika saya tanya untuk minta bukti, tak ada penjelasan yang jelas. Saya bersyukur, alhamdulillah, karena berada di bawah Kodam Jaya. Pak Suryo Sumarno kirim surat yang menyatakan saya tidak terlibat PKI. Sehingga walaupun saya ditahan, saya tidak disiksa, atau mendapat pelecehan.”

Sesudah pulang, ia dijanjikan bebas penuh, namun janji itu tak sesuai harapan, “Saya di penjara dari 1968-1975. Tadinya saya tahanan rumah, terus akan bebas penuh. Ternyata bohong. Tiba-tiba pada tahun 1978, saya dikasih ET (Eks Tapol) dan kemudian pada 84 wajib lapor gara-gara peristiwa Priok. Padahal saya enggak ada urusan apa-apa. Saya juga enggak boleh keluar negeri. Saya tak bisa berbuat apa-apa selain sabar.”

Ibu Nani mengaku mulai berani memperjuangkan hak-haknya secara terang-terangan usai reformasi tahun 1998/ 99.

“Saya berjuang sejak 1999 usai reformasi. Tahun 2000 saya lapor ke LBH Jakarta untuk membantu mengadvokasi hak-hak warga negara saya. Antara lain soal hak KTP seumur hidup saya yang ditolak. Banyak yang membantu selain LBH Jakarta. Ada Elsam, LBH Masyarakat, KontraS dan banyak lagi.”

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Muhammad Daud Bereuh mengatakan, lembaganya telah memberikan konsepsi umum atau masukan soal kebijakan penanganan HAM kepada Presiden SBY.

“Pertama adalah permohonan maaf negara kepada korban secara resmi. Hal ini juga dilakukan di negara lain, seperti Australia dan lain-lain. Yang kedua adalah akuntabilitas hukum. Maksudnya, siapapun yang bersalah harus dihukum. Sesuai UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian hak pemulihan korban, ini yang penting. Pemulihan martabat, setelah itu hak-hak yang lainnya. Karena hal ini juga dialami keluarga korban. Terakhir adalah status kewarganegaraan dan jaminan agar kasus ini tak berulang. Semua harus direformasi. Namun, hingga kini konsepsi itu belum juga dijalankan oleh Pemerintah,” kata Muhammad Daud, dalam program perbincangan Reformasi Hukum dan HAM produksi bersama KBR68H dan TV Tempo, Senin (21/4).

Menurut catatan KontraS, sesuai data Komnas HAM, ada 900 lebih korban 65/ 66 yang saat ini belum mendapat keadilan.

“Itu yang sudah diperiksa. Tapi, jauh di luar itu di Jakarta saja ada sekitar 500-600 korban. Kalau dihitung se-Indonesia bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan, jika dihitung dengan keluarga. Yang kita sesalkan semua korban yang disiksa atau dibunuh, tidak pernah mendapat keadilan. Rezim Orde Baru tak pernah ada putusan bahwa mereka ini terlibat PKI. Ini adalah pelanggaran HAM berat. Bahkan sampai sekarang ada korban 65 yang masih hilang.”

Menurut Daud, sebenarnya tidak ada hambatan bagi pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama kasus 65/ 66. Kata dia, SBY masih memiliki kesempatan untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu. Semisal, dengan mengeluarkan keputusan Presiden.

“Enggak ada kendala. Yang dibutuhkan adalah komitmen dan niat baik pemerintah. Itu yang belum dimiliki oleh Pemerintah,” kata Daud.

Pemerintah saat ini dinilai takut untuk mencabut putusan MA nomor 400 tahun 2004 yang menurut korban, dan kalangan aktivis, diskriminatif.

“Pemerintah ngotot mempertahankan karena takut dan khawatir soal munculnya ajaran komunisme akan berjalan lagi jika putusan ini dicabut. Kekhawatiran lain adalah, kasus 65 bisa menjadi transisi untuk kasus HAM yang lain. Tapi, ingat tidak ada kata kadaluarsa untuk pelanggaran HAM.”

Kata M. Daud, munculnya calon-calon presiden baru yang akan bertarung dalam Pemilihan Presiden Juli nanti, diyakini belum memiliki visi misi dan komitmen yang jelas soal penuntasan kasus HAM yang bertumpuk. Mulai dari kasus 65/ 66, penculikan aktivis, dan banyak lagi. Malah, beberapa capres yang mencalonkan diri saat ini diduga terlibat pelanggaran HAM. Ia meminta, masyarakat tidak memilih capres pelanggar HAM.

“Mereka adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Wiranto dari Hanura dan Aburizal Bakrie dari Golkar. Sementara untuk capres lain yang belum memiliki catatan masa lalu, tantangannya adalah berani atau tidak melakukan terobosan hukum mendorong agar Kejagung melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat, dan membuat kebijakan pemulihan nama korban, yang dimulai dengan permintaan maaf.”

Hal senada disampaikan oleh Nani Nurani, korban pelanggaran HAM. Ia berharap ada penuntasan dan pemulihan nama baik sebelum ia dan korban lain menghembuskan nafas terakhir. Ia ingin di akhir masa hidupnya, semua tuduhan yang disangkakan kepadanya sudah dipulihkan. Ia yakin, pemerintahan SBY atau pemerintahan yang akan datang akan mampu menyelesaikan kasus ini dan memulihkan hak-hak yang terambil.

“Saya yakin SBY akan mau membuat keajaiban bagi kami. Minimal berikan pada saya dulu, sebagai perwakilan. Yang jelas dan perlu diketahui, saya bukanlah pengkhianat bangsa dan negara! Kami manusia terhormat. Orang tua saya adalah veteran dan perintis kemerdekaan. Saya tidak terlibat apa-apa. Kami hanya ingin pemerintah mengembalikan hak kami dan memulihkan hak-hak kami, serta para korban lain. Jangan lagi ada korban lain seperti kami. Pemerintah harus menegakkan hukum dengan tegas. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkasnya.

Editor: Fuad Bakhtiar

  • korban 65 nani nurani
  • korban pelanggaran HAM 65
  • pelanggaran HAM berat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!