BERITA

Mendag: Kita Tidak Bisa Punya Paradigma Antiimpor

"KBR68H, Jakarta - Belakangan ibu rumah tangga, pemilik warung, pedagang pasar mengeluhkan tingginya harga bahan masakan seperti bawang, cabai dan lainnya."

Airlambang

Mendag: Kita Tidak Bisa Punya Paradigma Antiimpor
impor, perdagangan, bahan pokok, gita wirjawan

KBR68H, Jakarta - Belakangan ibu rumah tangga, pemilik warung, pedagang pasar mengeluhkan tingginya harga bahan masakan seperti bawang, cabai dan lainnya. Pasalnya produk dalam negeri tak mencukupi untuk kebutuhan warga. Ujung-ujungnya impor.  Nah bagaimana pemerintah menjaga stabilitas harga tersebut.  Kita simak perbincangan reporter TempoTV Alif Imam yang mewawancarai Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di ruang kerjanya yang luas di kantor Kementerian Pergangan tak jauh dari stasiun Gambir, Jakarta Pusat.  Gita menjawab seputar hari Senin, stabilitas harga, perdagangan bebas dan persaingan global.  

Setiap Senin pagi orang seringkali takut dengan hari Senin. Anda pada hari Senin seperti apa?

Senin itu adalah awal dari program kerja untuk satu minggu. Jadinya kita harus siap dan semangat, kalau saya lihat hari Senin penuh dengan semangat.
 
Apa yang biasanya dirancang pada Senin pagi?

Biasanya fresh saja. Pokoknya begitu bangun harus fresh tapi mencerminkan pemikiran-pemikiran hari Minggu dan Sabtu sebelumnya, apapun kejadian sebelumnya.
 
Biasanya Senin pagi itu disambut jeritan ibu rumah tangga. Perasaan apa yang muncul pada saat itu?

Tidak enaklah dan tentunya bukan jeritan masyarakat saja, istri dan pembantu sangat merasakan kenaikan harga yang tinggi itu langsung kita sikapi. Memang ada keterbatasan, sistem tata niaganya terkendala itu kita sikapi. Karena keterkaitannya dengan lembaga-lembaga yang lain, alhamdulillah kita bisa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya.

Keputusannya dinilai pragmatis karena kita sulit memenuhi komoditas dalam negeri, solusinya adalah impor. Tanggapannya bagaimana?

Amanah kita bukan hanya mengatur tata niaga tapi justru menjaga stabilitas harga. Tapi bukan berarti kita lupa terhadap kepentingan kawan-kawan di dalam negeri, untuk bisa mendapatkan kesejahteraan dari produksi seperti petani itu harus kita dukung untuk bisa mendapat kesejahteraan, semakin produktif semakin baik. Tapi kadang-kadang ada dua kendala, produksi mereka masih kurang dibandingkan konsumsi, kedua kalaupun produksi cukup untuk satu tahun bahkan melebihi dibanding kebutuhan tapi kadang-kadang panennya beda waktu. Seperti bawang merah di awal tahun di Brebes belum panen, di Sulawesi itu titik-titik sentra produksi bawang merah itu mulai bulan April dan panen raya di Brebes bulan Juli. Tapi kebutuhan nasional setiap hari, kita harus isi agar harga stabil. Tapi kalau saya berpikir untuk bawang merah kebutuhan nasional kurang lebih 500 ribu ton tapi kita bisa berproduksi 800 ribu sampai 900 ribu ton. Ya sisanya itu kita ekspor ke luar, tapi kadang kalau ada gap kita harus isi mendatangkan dari luar negeri. Itu saya rasa lumrah, kita hidup dalam komunitas yang mendunia dan kita tidak bisa berparadigma antiimpor. Kalau kita berparadigma antiimpor, misal kalau setiap orang di dunia ini antiimpor ekspor kita siapa yang mau beli.

Bukankah ini pilihan?

Tentu pilihan dalam arti kita harus  tegas mengenai produk-produk apa saja yang bisa disubstitusi, bisa diproduksi di dalam negeri. Tapi kita juga harus tegas mengenai produk-produk yang sangat tidak bisa dilakukan substitusi, ini kita harus ada keterbukaan.

Pada komoditas mestinya kita mampu memenuhi sendiri ya?

Tapi kiwi kita tidak bisa memproduksi, terus produk-produk teknologi seperti IPad belum bisa, apakah kita potensinya ada. Jadinya kebijakan dari Kementerian Perdagangan itu harus menopang semangat kita ke depan untuk bisa melakukan substitusi, kalau perlu kita kasih intensif untuk siapapun yang bisa melakukan ekspor selama itu bisa membuahkan lapangan kerja yang besar. Balik ke produk hortikultura pertanian saya sangat mendukung agar para petani ini bisa sejahtera.

Kebijakan presiden sendiri kalau dalam situasi seperti itu apa?

Sangat mendukung, ini kebijakan pemerintah Republik Indonesia.

Beberapa keputusan di dalam kabinet terutama ekonomi memang kecenderungannya adalah sifatnya pragmatis. Apa karena banyak kaum pengusaha yang terlibat di dalam pemerintahan?

Pragmatisme itu sangat dibutuhkan untuk kepentingan ad hoc. Tapi untuk kepentingan jangka menengah dan panjang itu kita juga sangat merangkul. Ujung-ujungnya kita harus memperkuat basis produksi apapun, apakah produk pertanian dan juga produk industri lainnya khususnya manufaktur. Ini yang harus kita perkuat ke depan, karena kita sudah masuk dalam koridor kesepakatan perdagangan bebas. Presiden seringkali mengatakan ini perdagangan yang adil jangan bebas saja, itu saya sangat merangkul semangat-semangat seperti itu. Tapi kenyataannya ini dalam konteks Asia Tenggara saja neraca perdagangan Indonesia dengan masing-masing negara di Asia Tenggara itu sudah defisit. Di akhir tahun 2015 ini akan dibuka lagi namanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) ini akan lebih liberal lagi, ini kesepakatan dulu tahun 2003 sebelum pemerintahan sekarang. Kalau saya melihat kita benar-benar harus bisa meningkatkan daya saing untuk produk-produk pertanian dan untuk produk-produk manufaktur. Untuk meningkatkan daya saing ini perlu kebutuhan prasarana, infrastruktur, juga pendanaan secara proaktif.

Investasi kadang-kadang melihat dukungan itu termasuk nilai kompetisinya adalah di soal tenaga kerja, alih-alih kita menerapkan fair trade justru free trade menjadi tidak adil. Bagaimana?

Fair trade itu justru harus dirangkul. Free trade ya lucu kalau kita kirim batubara terus kita beli handphone dari negara yang kita kirim batubara. Semestinya sebanyak mungkin itu penambahan nilainya di Indonesia, baru barang yang diolah itu nilai tambahnya lebih banyak itu yang kita kirim. Anggaplah kita bisa bikin handphone di Indonesia, anggaplah 10 persen dari handphone itu adalah yang diproduksi di Indonesia. Tapi itu justru hal-hal yang nilai inovasinya paling tinggi, 90 persennya kita harus datangkan bahan baku dari luar negeri dan segala macam. Bagus artinya kita sudah menjadi bangsa yang cerdas karena nilai dan kapasitas kreatif dan inovatif kita itu sudah dinilai dengan nilai yang tinggi, tapi kita harus mengimpor bahan baku dari luar apalagi kalau kita bisa menggunakan bahan baku dari dalam negeri. Itu menurut saya bisa menopang kepentingan kita untuk menjaga perdagangan yang adil dengan siapapun.  Tapi jangan sampai kita mengekspor bahan baku terus kita harus mengimpor produk jadi. Kita harus sabar, ketika kita lihat angka tahun lalu cukup menarik importasi bahan baku dan barang modal itu meningkat secara signifikan, sedangkan importasi produk jadi itu menurun. Artinya kita sudah makin merangkak di rantai nilai, kita sudah bisa melakukan produksi produk-produk yang dulunya tidak bisa kita produksi dan nilai tambahnya lebih kelihatan. Tapi kita harus melihat 5-20 tahun ke depan alangkah baiknya kita bisa bikin mobil sendiri, bikin pesawat sendiri, bikin kapal sendiri, bikin hal-hal yang sangat dibutuhkan untuk melakukan industrialisasi di dalam negeri. 

Dengan pasar dalam negeri?

Dengan pasar dalam negeri dan luar negeri. Jadi paradigma yang dibutuhkan jangan hanya untuk kepentingan dalam negeri saja, kita harus bisa berparadigma untuk menjadi eksportir yang paling efisien. Kenapa, karena kalau kita bisa bersaing dengan negara-negara tetangga dan negara-negara yang jauh, otomatis produk kita akan bisa dinikmati pasar dalam negeri. Masalahnya kalau kita hanya pikirkan untuk kepentingan dalam negeri terus tiba-tiba pintu dibuka di akhir tahun 2015 atas kesepakatan kita, tiba-tiba ada produk yang dibuat di Chiang Mai, kawan-kawan di Thailand kirim ke Indonesia lebih murah dan bagus. Kita harus bisa berparadigma bersaing dengan siapapun, kalau itu bisa dilakukan saya jamin kawan-kawan di Mamuju, Manokwari, Flores, Samosir pasti akan bisa menikmati produksi dalam negeri. 

  • impor
  • perdagangan
  • bahan pokok
  • gita wirjawan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!