BERITA

Harga Buku Mahal, Pemerintah Seharusnya Beri Subsidi Kertas kepada Penerbit

"23 April, diperingati sebagai hari buku sedunia. Biasanya banyak gelaran pameran buku murah."

Harga Buku Mahal, Pemerintah Seharusnya Beri Subsidi Kertas kepada Penerbit
hari buku, harga buku mahal, subsidi kertas

23 April, diperingati sebagai hari buku sedunia. Biasanya banyak gelaran pameran buku murah. Misal, yang dilakukan Bandar Publishing di Aceh. Bisa jadi, pameran buku murah digelar karena harga buku yang memang mahal. Dewan perwakilan Rakyat sempat menyatakan, harga buku di Indonesia termasuk yang termahal sedunia. Bagaimana caranya agar harga buku di Indonesia tidak lagi mahal? Simak perbincangan KBR68H dengan Direktur Penerbit Komunitas Bambu, JJ Rizal dalam program Sarapan Pagi

Tentang Hari Buku apakah juga menyoroti harga buku yang mahal?
 
Kalau di penerbit Komunitas Bambu memang mahal. Karena cetaknya terbatas dan kita mencetak buku-buku ilmu humaniora, pengetahuan budaya, terutama sejarah. Kita tahu bukan hanya buku-buku yang kita terbitkan, tapi jenis-jenis buku yang lain mengalami  nasib yang sama. Karena secara umum semua hal yang terkait dengan buku dikenakan pajak misalnya bahan pokok kertas dikenakan pajak, penulis kena pajak, sampai di toko kena pajak jual beli, banyak sekali pajak mengelilingi buku.

Bahkan buku-buku populer ya?

Kalau buku populer menurut saya kita harus bagi dua. Ada buku yang menurut saya kita bisa anggap buku, tapi sekarang kita susah menemukan buku yang bisa kita anggap buku. Kalau kita pergi ke toko buku kita mau bicara buku yang berkualitas sulit sekali menemukannya, karena toko sekarang sangat disetir kepentingan ekonomi, pasar. Karena ruang itu uang, jadi sekian ribu buku masuk setiap hari ke toko itu dan tokonya cuma itu saja. Mayoritas orang sekarang kalau mau membeli buku berpikirnya masih ke toko, tidak online shopping. Kemudian mereka menerapkan pemotongan harga kepada penerbit besar sekali yaitu 50 persen dari harga jual. Ini dialami semua penerbit 50 persen dari harga jual, ongkos produksi 35 persen, royalti 10 persen, dia ambil 50 persen kita cuma dapat 5 persen.

Artinya dengan harga yang mahal saat ini penerbit itu untungnya sedikit?

Yang untung bukan penerbit, percetakan harus dibayar. Toko itu yang langsung mendapat uang cash begitu buku dibayar, karena sifatnya bukan kredit tapi konsinyasi. Ini juga menjadi masalah di sistem distribusi buku kita juga jadi masalah. Ini menurut saya salah satu problem yang membuat harga buku juga mahal karena toko memintanya sangat tinggi. Dulu misalnya IKAPI bisa berjuang supaya penerbit-penerbit mendapatkan pasokan kertas khusus untuk penerbit yang disubsidi pemerintah, bukan dipajakin. Tapi sekarang tidak berlaku padahal bahan pokok buku itu kertas.

Sejak kapan itu tidak ada lagi?

Tahun 1980-an dan tidak ada politik perbukuan yang jelas. Dari mayoritas pendiri bangsa ini memperlihatkan sikap yang kuat terhadap buku, sekarang saya sukar sekali menemukan orang yang punya sikap yang kuat terhadap buku.

Kalau untuk royalti ke penulis bagaimana?

Dulu royalti orang bisa memberikan 20 persen di tahun 1970-1980. Misalnya penerbit Pustaka Jaya itu bisa memberikan sampai 20 persen, sudah termasuk pajak tapi pajak royalti tidak besar. Sekarang kita memberikan 10 persen saja sulit, artinya sebenarnya secara tidak langsung bukan hanya dunia penerbitan tapi dunia literatur Indonesia terancam sebenarnya. Artinya peradaban kita sedang jalan di tempat atau mengalami involusi, involusinya itu bisa kita lihat dari merebaknya buku-buku yang mungkin kita tidak bisa anggap sebagai buku, redaksi semakin kompromis karena orientasinya pasar bukan lagi pengetahuan, visi perbukuan kita jadi hilang juga.
 
Apakah dengan mahalnya biaya produksi dan sebagainya ini berimbas kepada penjualan dan keuntungan yang sedikit?

Itu yang kami rasakan. Saya di Komunitas Bambu biasa memproduksi buku 5 tahun terakhir sebelum tahun 2013 kita memproduksi selalu minimal 3.000 eksemplar. Tapi sekarang kita tidak bisa lagi mencetak 3.000 eksemplar, itu karena ternyata selama penelitian kita selama 5 tahun itu buku-buku yang kami cetak dalam setahun hanya diserap paling banyak 400-800 eksemplar. Sisanya itu dikembalikan ke gudang karena konsinyasi, kita harus obral dan buku itu perlu 5-6 tahun untuk habis. Itu masalah juga, artinya waktu itu kita cetak 3.000 eksemplar dengan perhitungan akan lebih murah harga cetaknya karena minimal cetak 3.000 eksemplar. Ternyata konsumsi kita untuk buku-buku pengetahuan, sejarah, dan humaniora sudah kita bela supaya lebih murah tapi tidak didukung sistem dan juga oleh masyarakatnya. Akhirnya kita sekarang berpikir ya sudah kita cetak sesuai dengan kebutuhan yaitu hanya 1.000-1.500 eksemplar, otomatis harganya akan melambung tinggi.
   
Apa yang harus dilakukan agar harga buku murah?

Politik perbukuan. Kita tidak punya politik perbukuan, sebenarnya kita punya 220 juta rakyat dan berapa sekolah yang kita punya dan kita sedang mengalami ketekoran nilai pengetahuan, alasan kita menjadi Indonesia tidak ada sentuhan humanisme dalam pembangunan Indonesia. Sebenarnya buku-buku yang bermutu justru sangat penting, tapi kenyataannya kita sukar menemukan itu. Karena kalau kita bicara buku yang bermutu orang akan berpikir tidak laku, disitulah politik perbukuan menjadi penting. Pemerintah harus mengambil sikap untuk mendukung penerbitan buku-buku yang menurut saya mampu mengantarkan kita pada pencerahan, tapi kenyataannya dibiarkan saja bersaing.          

  • hari buku
  • harga buku mahal
  • subsidi kertas

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!