BERITA

Deteksi Teroris di Media Sosial, Pengamat Sarankan Operasi Intelijen Elektronik, Apa Itu?

Deteksi Teroris di Media Sosial, Pengamat Sarankan Operasi Intelijen Elektronik, Apa Itu?

KBR, Jakarta- Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menyarankan pemerintah --utamanya BIN dan BSSN-- menjalankan operasi intelijen elektronik atau signals intelligence.

Saran itu dikemukakan Ridwan menyusul pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut pelaku bom bunuh diri di Makassar, belajar dari media sosial.

Menurut Ridwan, operasi itu dilakukan untuk mendeteksi pergerakan teroris di media sosial dan aplikasi percakapan seperti WhatsApp dan Telegram.

Operasi itu harus dilakukan secara profesional, karena di sisi lain berpotensi melanggar hak privasi orang.

"Jalan tengahnya operasi intelijen. Operasi intelijen artinya ya orang tidak tahu kalau dibaca WhatsApp-nya kan gitu. Jadi bermasalah kan kalau ketahuan. Kalau Anda tahu WhatsApp Anda dibaca pemerintah, baru Anda bisa protes. Kalau Anda tidak tahu bahwa sebenarnya WA Anda atau HP Anda dibaca pemerintah, Anda enggak tahu, Anda beraktivitas normal. Salah satu solusi terbaiknya adalah intelijen yang profesional. Sehingga ketika mereka melakukan monitoring, ketika mereka melakukan penyadapan, orang yang dimonitor dan disadap itu tidak sadar. Kalau sampai sadar, kalau sampai tahu, yang sudah namanya bukan jalan intelijen," kata Ridwan kepada KBR melalui sambungan telepon, Selasa (30/3/2021).

Privasi dalam Operasi Intelijen

Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menyebut masalah privasi dalam operasi intelijen elektronik memang menjadi hal serius yang hingga kini belum ada solusi konkret. Masalah itu juga dialami badan intelijen di negara lain seperti Inggris dan Amerika.

Meski begitu, Ridwan tetap menyarankan agar operasi ini dijalankan dengan hati-hati. Sebab, kelompok teroris kerap menyamarkan model komunikasi di media sosial atau WhatsApp dengan sandi-sandi tertentu yang tak dicurigai.

"Dan kadang kala mereka menyamarkannya dengan sandi-sandi ya. Misalnya grup WhatsApp keluarga bahagia gitu kan. Itu kalau dipantau sekilas oleh mesin misalnya, ya orang mengira itu WhatsApp keluarga gitu loh. Ndak mengira bahwa di situ adalah percakapan kelompok teroris," ujarnya.

Patroli Siber 24 Jam

Sementara itu, Badan Intelijen Negara (BIN) terus melakukan patroli siber 24 jam nonstop untuk mendeteksi pergerakan kelompok teroris di internet dan media sosial. Patroli ini digencarkan usai teror bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, Minggu (28/03/2021).

Menurut juru bicara BIN Wawan Hari Purwanto, kelompok-kelompok teroris banyak yang memanfaatkan media sosial untuk mengajak generasi muda bergabung.

Apalagi kata dia, konten-konten dengan narasi radikalisme terorisme juga banyak bertebaran di media sosial.

"Di sini banyak sekali bertebaran cara-cara membuat bom, kemudian cara agitasi maupun juga mengajak mereka untuk bergabung sebagai anggota. Kemudian juga mengajarkan bagaimana menyerang, teknik gerilya kota, maupun juga teknik praktik langsung membuat bom itu dengan ditentir (belajar bersama, red) oleh mereka karena bisa melakukan tanya jawab. Ini lah yang terus menerus kita lakukan patroli siber," kata Wawan dalam diskusi virtual di TVNU, Selasa (30/3/2021).

Generasi Muda Jadi Incaran

Juru bicara BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan dari patroli siber selama ini, BIN sudah mendeteksi pihak yang terindikasi terpapar paham radikalisme.

Ia mengklaim, sudah menetapkan beberapa orang menjadi target untuk ditindak BIN. Sedangkan untuk konten-konten, beberapa sudah diturunkan atau take down oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Wawan menjelaskan, narasi ajakan bergabung ke kelompok teroris kerap kali menyasar generasi muda. Kelompok teroris kerap menggunakan propaganda radikalisme yang dikemas dengan narasi ketidakadilan. Mereka seolah-olah menjadikan kaum muda sebagai juru penyelamat.

"Pesan tersebut membentuk kesesatan berpikir bahwa tatanan sosial saat ini perlu dibenahi. Dan generasi muda diposisikan sebagai juru selamat yang mampu mengubah keadaan, salah satunya melalui aksi teror," ujarnya.

Ia mengimbau orang tua aktif mengontrol anak-anaknya supaya tidak terjerumus dalam paham maupun kelompok teroris.

Belajar Merakit Bom dari Media Sosial

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan dua pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, diduga belajar merakit bom melalui media sosial. 

Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan mentor dalam latihan itu diduga merupakan senior dari jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD).

"Ada informasi ini juga berkaitan dengan online training di media sosial yang dikembangkan oleh mereka. Jadi mereka mengembangkan tata cara pembuatan bahan peledak. Ada beberapa narasumber senior mereka yang pernah berlatih di luar negeri, ini bisa seperti ini. Jadi ideologi ini terus dikembangkan oleh kelompok-kelompok radikal terorisme," kata Boy di Makassar, Senin (29/3/2021).

Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan bakal terus mencegah dan mengantisipasi metode-metode latihan daring semacam itu. BNPT akan bekerja sama dengan TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Boy juga mengajak masyarakat terlibat aktif mengawasi beredarnya paham-paham ekstremisme di dunia maya.

Ledakan bom bunuh diri terjadi di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/03/2021). Akibatnya sekira 20 orang terluka, terdiri dari jemaat gereja dan warga. Sedangkan dua pelaku tewas. Polisi memastikan pelaku merupakan dua orang suami-istri dari kelompok JAD.

Editor: Sindu Dharmawan

  • bom Makassar
  • bom bunuh diri
  • Bom Gereja
  • Bom Katedral
  • BNPT
  • BIN
  • Densus 88
  • Polri
  • terorisme
  • teroris
  • JAD
  • Media Sosial
  • Kominfo

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!