Article Image

BERITA

Belajar Toleransi dari Kampung Sudiroprajan

Kamis 25 Mar 2021, 11.07 WIB

Suasana meriah Grebeg Sudiro 2020 yang tak bisa dinikmati tahun ini karena pandemi. FOTO: Pemkot Surakarta

Kampung Sudiroprajan dikenal sebagai ikon wisata sekaligus simbol keberagaman di Solo, Jawa Tengah. Selama ratusan tahun, warga etnis Tionghoa dan Jawa di sana, hidup rukun berdampingan. Pembauran budaya antaretnis ini menciptakan kekayaan tradisi seperti Grebeg Sudiro. Jurnalis KBR, Yudha Satriawan bertemu warga Sudiroprajan dan mencari tahu bagaimana tradisi harmonis antaretnis dilestarikan.

KBR, Solo - Arga Dwi Setyawan tertegun melihat jalanan sekitar Kelenteng Tien Kok Sie yang sepi.

Dulu saban Imlek, panggung megah berdiri di area sekitar Kelenteng dan Pasar Gede Harjonagara. Tepatnya di depan Balai Kota Solo.

Lokasi itu merupakan pusat Festival Grebeg Sudiro, tradisi perayaan tahun baru Cina yang sudah menjadi ikon wisata di Solo sejak 13 tahun lalu.

“Tahun 2021 ini Grebeg Sudiro memang tidak digelar karena pandemi Covid-19. Sesuai aturan pemerintah seluruh aktivitas budaya yang berpotensi kerumunan, ditunda atau ditiadakan sementara", ujar Arga.

Kemeriahan karnaval, barongsai dan liong diiringi lantunan gamelan, hingga pembagian ribuan kue keranjang, tak bisa dinikmati tahun ini.

Grebeg Sudiro sudah digelar sejak 2007 dan menjadi ikon wisata sekaligus keberagaman (foto: Pemkot Surakarta)

Arga menunjukkan video dokumentasi Grebeg Sudiro yang digelar tahun lalu. Pemuda 28 tahun ini adalah ketua panitianya.

Grebeg Sudiro juga dikenal sebagai simbol keberagaman. Kampung Sudiroprajan- tempat asal muasalnya - dihuni etnis Jawa dan Tionghoa yang hidup rukun selama beberapa generasi

“Kampung kita dikenal sebagai kampung pecinan di Solo. Kita harapkan dari beda budaya, beda etnis, yang dimana saat Pilpres Indonesia dan Pilkada muncul beberapa konflik ras, kita tunjukkan lewat budaya Grebeg Sudiro ini bahwa kita beda suku, etnis, agama, dan lainnya kita tetap satu sebagai anak bangsa,” kata Arga.

Grebeg Sudiro maupun tradisi lain mayoritas digarap oleh kelompok pemuda Sudiroprajan.

“Kita ide-idenya apapun itu murni dari pemuda. Kita pure dari warga kampung Sudiroprajan ini, baik itu dari organisasi Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), karang taruna, orang muda Katolik, orang muda Kristen, Rohani Islam, barongsai dari PMS (Persatuan Masyarakat Surakarta) semua kita ikut sertakan,” jelas Arga.

Arga Dwi Setyawan Pemuda Sudiroprajan (Foto: KBR/Yudha Satriawan)

Kerukunan dan akulturasi budaya tampak dalam keseharian

“Sekarang malah 90 persen pemain barongsai, liong dari warga etnis Jawa. Kalau jelang Imlek, yang etnis Tionghoa kan menyediakan sesaji, seringkali etnis Jawa di kampung ini ikut membantu. Nanti gantian pas hari raya agama lain, misal Lebaran, etnis Tionghoa ikut membantu warga muslim, begitu juga saat Natal atau hari raya agama lainnya,” imbuhnya.

Pernikahan antaretnis pun bukan hal aneh di Sudiroprajan. Monica Silvi Ningrum adalah salah satu anak hasil perkawinan campuran atau ampyang.

“Warga sini bilang ampyang, kuliner yang berasal dari bahan kacang dan gula Jawa. Penggambaran gula Jawa untuk etnis Jawa dan kacang untuk etnis Tionghoa. Kalau bapak saya dari etnis Jawa sedangkan mama saya etnis Tionghoa, kalau saya lebih ke Tionghoa, blasteran juga,” tutur Monica yang kerap disapa Cik Monik.

Monica Silvi adalah anak hasil perkawinan campuran etnis Tionghoa dan Jawa (Foto: KBR/Yudha Satriawan)

Guyubnya warga terlihat saat pandemi Covid-19, kata Tokoh Tionghoa Sudiroprajan, Donny Mahesa Wijaya.

“Apalagi beberapa waktu lalu kan kampung sini banyak yang kena Covid-19, kita aktifkan jogo tonggo. Kalau parah dibawa ke RS, kalau ringan ya isolasi mandiri di rumah. Tetangga sekitar menyuplai kebutuhan pangan selama isolasi mandiri. Kebetulan rumah saya dipakai untuk posko logistik, ya saya manut saja silakan dipakai,” kata Donny.

Pria 46 tahun ini meneladani sikap toleran dari orangtuanya. Ia juga mengajarkan hal yang sama kepada anak-anaknya.

“Zaman kakek nenek saya dulu, kami diajarkan untuk mengetahui budaya lain, antara lain keroncong dan wayang. Berkumpul dengan keluarga atau warga lain yang beda etnis beda agama biasa itu. Anak-anak saya setiap hari berinteraksi dengan teman-temanya di kampung ini tanpa mengenal agama atau etnisnya. Semua membaur,” ujar dia.

Tokoh Tionghoa Sudiroprajan, Donny Mahesa Wijaya (Foto: KBR/Yudha Satriawan)

Pakar Budaya Jawa dan Tionghoa, Warto mengatakan, Sudiroprajan hanya satu dari banyak bukti sejarah akulturasi budaya di Solo.

“Wayang Sriwedari Solo, Pasar Gede Harjonagoro, hingga batik yang dibuat pengusaha mendiang Go Tik Swan, bukti sejarah peran Tionghoa di Solo. Kebudayaan Jawa jangan didefinisikan secara sempit berdasar etnis. Sejarah budaya Jawa tidak pernah menjauhi pengaruh budaya lain, justru selalu dirangkul”, ujar Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNS itu.

Ia memuji keberhasilan warga Sudiroprajan melestarikan tradisi toleransi dan keberagaman secara turun temurun

“Luar biasa bibit harmonisasi sosial di Sudiroprajan. Generasi mudanya mampu membentuk masyarakat toleran. Saya optimistis masyarakat akan semakin toleran dan ini sangat penting”, ungkap Warto.

Warto, Pakar Budaya Universitas Sebelas Maret (foto: KBR/Yudha Satriawan)

Arga, tokoh pemuda Sudiroprajan siap menerima tongkat estafet kebhinekaan dari pendahulu. Ia mengajak generasi muda di daerah lain berani mengambil tanggung jawab serupa.

“Anak muda jangan takut untuk mengembangkan budaya atau akulturasi yang ada di daerahnya. Bangsa Indonesia ini kan banyak dan beragam dari Sabang sampai Merauke. Jangan takut, muncul terus, terutama untuk sesuatu yang baik," pungkasnya.

Penulis: Yudha Satriawan

Editor: Ninik Yuniati