RUANG PUBLIK

Pengamat: Utang Pemerintah Naik 71 Persen dalam Empat Tahun Terakhir

"Menurut dugaan pengamat ekonomi, Faisal Basri, utang pemerintah itu banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif."

Adi Ahdiat

Pengamat: Utang Pemerintah Naik 71 Persen dalam Empat Tahun Terakhir
Ilustrasi: Tumpukan uang di 'cash center' Plaza Mandiri, Jakarta (Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga/wsj)

Dalam periode tahun 2014 – 2018, utang pemerintah Indonesia naik sebesar 71 persen.

Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi, Faisal Basri, dalam seminar bertajuk “Tata Kelola Utang untuk Pembangunan Nasional” yang digelar FITRA di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

Sampai akhir tahun 2018 total utang pemerintah pusat disebut sudah mencapai Rp4.418,30 triliun.

Utang sebesar Rp805,62 triliun berasal dari pinjaman, sedangkan Rp3.612,90 triliun sisanya berasal dari Surat Berharga Negara (SBN).

Faisal Basri menduga, utang pemerintah itu banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif.

Pasalnya, mengacu kepada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dalam empat tahun terakhir belanja barang pemerintah meningkat 51,9 persen. Dari awalnya Rp175,14 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp336,97 triliun di tahun 2018.

Sedangkan dalam hal belanja modal, pemerintah hanya menaikkan anggaran sebesar 25,9 persen. Dari Rp146,75 triliun di tahun 2014 menjadi Rp184,87 triliun di tahun 2018.

Dari laporan tersebut, Faisal menilai pemerintah lebih banyak menghabiskan anggaran untuk belanja barang ketimbang belanja modal.

Belanja pemerintah untuk membayar bunga utang juga meningkat hingga 94 persen. Beban bunga itu dikhawatirkan membuat pemerintah tidak leluasa untuk meningkatkan belanja lain yang penting bagi masyarakat.


Utang Pemerintah dalam Dolar, Rentan Kena Gejolak Nilai Tukar Valas

Hal senada disampaikan oleh Sekjen FITRA, Misbah Hasan. Dalam acara yang sama, ia menyatakan bahwa pemerintah harus cermat mengelola utang.

“Pemerintah harus cermat mengelola tren peningkatan proporsi pembayaran bunga utang terhadap belanja agar tidak mengorbankan alokasi anggaran belanja bersifat produktif dan afirmatif seperti belanja modal dan belanja bantuan sosial,” ujar Misbah Hasan dalam rilisan pers FITRA (26/3/2019).

Meski utang pemerintah masih masuk dalam batas aman, namun Misbah berpendapat pemerintah tetap perlu mencermati risiko yang mungkin muncul.

“Memang indikator seperti rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di level 30 persen, jauh dari batas aman 60 persen. Namun perlu cermat mengelola utang yang berdenominasi valas, terutama dolar Amerika Serikat, karena adanya risiko gejolak nilai tukar rupiah yang dapat mengakibatkan beban tambahan dalam pembayaran bunga maupun pokok utang,” jelasnya.

Menurut Misbah Hasan, pemerintah memang berupaya mendorong target pembangunan infrastruktur dan meningkatkan daya saing ekonomi.

Akan tetapi target infrastruktur yang besar belum dibarengi dengan kemampuan negara dalam meningkatkan pendapatan. Alhasil pemerintah harus berhutang untuk menutup defisit anggaran.


Utang untuk Pembangunan di Luar Pulau Jawa

Indra Sakti Lubis, selaku perwakilan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, turut hadir dalam acara seminar tersebut untuk menanggapi paparan dari Faisal Basri dan FITRA.

Menurut Indra, studi tentang tata kelola utang penting agar publik mengetahui lebih jauh tentang posisi utang di Indonesia.

“Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir komposisi utang sudah berubah. Sebelumnya didominasi oleh bilateral dan multilateral, hari ini sudah didominasi oleh SBN. Selain itu, data yang disampaikan FITRA menunjukkan bahwa (kita) sudah spending untuk infrastruktur. Jika sebelumnya pembangunan Indonesia concern di Jawa sekarang sudah bergeser ke luar pulau Jawa,” ujarnya (26/3/2019).

  • utang
  • SBN
  • FITRA

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!