HEADLINE

RUU Antiterorisme, Pelibatan TNI di Tangan Presiden

RUU Antiterorisme, Pelibatan TNI di Tangan Presiden

KBR, Jakarta - DPR dan pemerintah menyepakati poin pelibatan TNI dalam Revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani mengatakan, pelibatan TNI diperbolehkan berdasar pada skala ancaman teror.

Selain itu, keikutsertaan TNI juga harus didahului dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres).

"Kami meminta agar pendekatannya tidak berbasis peristiwa terorisme tertentu. Tetapi pada track level, skala ancaman, seperti yang diterapkan di negara-negara Eropa Barat, dan itulah yang kami pelajari di Inggris ketika studi banding," terang Arsul Sani di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (29/3/2018).

Anggota komisi hukum DPR itu menjelaskan, revisi undang-undang menyepakati bahwa peran TNI bakal diperluas.

Antara lain, apabila teror menimpa presiden dan wakil presiden di Istana, terjadi di kapal laut di mana Polri tak bisa bertindak, di pesawat udara. Kemudian, jika teror terjadi di kantor Konsulat Indonesia di luar negeri maupun dalam negeri. Dan terakhir, kejadian terorisme di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Baca juga:

Menanggapi itu, Direktur Imparsial Al Araf tetap mewanti, pelibatan TNI dalam terorisme harus berbasis pada putusan presiden, menjadi pilihan terakhir dan dipastikan di bawah pengawasan pemerintah serta masyarakat sipil.

Ungkapan serupa disampaikan bekas Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) Soleman Ponto. Menurutnya perbantuan TNI di luar tugas pokok militer sudah diatur melalui Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Di mana pasal 7 undang-undang tersebut mengatur pelibatan TNI dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik negara.

Arsul mengatakan, kendati poin pelibatan TNI sudah menghasilkan titik temu. Namun masih ada satu poin yang belum disepakati yakni soal definisi terorisme.

2 Pasal Jadi Ganjalan

Pembahasan revisi undang-undang Anti-terorisme pada penghujung Februari 2018 memang masih menyisakan dua pasal yang diperdebatkan. Antara lain soal definisi terorisme dan pelibatan TNI.

Sedangkan sejumlah pasal tentang penguatan BNPT maupun perlindungan korban, menurut Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Anti-Terorisme Muhammad Syafii telah disetujui.

"Kecuali tentang definisi, karena ini memang sepenuhnya kami berikan dulu ke pemerintah untuk merancangnya," kata Syafii di Hotel Borobudur, Rabu (28/2/2018).

Baca juga:

Muhammad Syafii memastikan, revisi mencantumkan pemenuhan hak-hak korban terorisme yang sebelumnya belum pernah diatur. Kata dia, para korban atau keluarga korban berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan serta kompensasi. 

"Tata cara kompensasi dan sebagainya itu sudah dimasukkan dalam penuntutan awal sehingga begitu putusan pengadilan, di dalamnya termasuk tentang berapa jumlah kompensasi yang harus dibayarkan kepada para korban, selain selama ini dia mendapatkan perawatan medis, psikososial dan psikologi."

Dalam revisi, BNPT diberi kewenangan sebagai leading sector untuk mengkoordinir penanggulangan terorisme dan penanganan korban. Selama ini, BNPT kesulitan melakukan intervensi ke kementerian atau lembaga lain karena secara kelembagaan terbatas.

"Karena pembentukan BNPT melalui perpres, padahal yang dikoordinir itu kementerian lembaga yang dibentuk UU, BNPT kurang percaya diri selama ini," tambah Syafii.




Editor: Nurika Manan

  • antiterorisme
  • RUU Antiterorisme
  • RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
  • Arsul Sani
  • DPR
  • Imparsial
  • TNI
  • Pelibatan TNI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!