BERITA

Aksi Menyemen Diri Jilid 2, KSP Masalahkan Izin Gubernur Ganjar

Aksi Menyemen Diri Jilid 2, KSP Masalahkan Izin Gubernur Ganjar


KBR, Jakarta- Kantor Staf Kepresidenan (KSP) menyayangkan aksi menyemen diri jilid II yang dilakukan warga pegunungan Kendeng terkait penolakan pembangunan pabrik Semen Indonesia.  Kepala KSP Teten Masduki menyatakan  akan mengecek   aksi tersebut. tapi dia  belum berencana memanggil warga Kendeng yang melakukan aksi di depan istana kemarin.

Teten menduga, keluarnya  izin oleh Gubernur Jawa Tengah,  membuat warga marah. Seharusnya kata dia, seluruh pihak bisa menunggu hasil KLHS sebelum mengeluarkan kebijakan.

"Semestinya kan sudah mulai ada kesepakatan waktu itu antara pabrik dengan masyarakat. Mudah-mudahan bisa ada solusi. (Mereka kecewa padahal sudah ada keputusan Mahkamah Agung terkait keputusan Pak Ganjar?) Memang itu masalahnya sementara nantikan  hasil KLHS akan keluar April mendatang," jelas Kepala KSP Teten Masduki di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (14/3/2017)

Sebelumnya, warga pegunungan Kendeng  melakukan aksi unjuk rasa dengan menyemen kedua kaki  di depan istana.Warga yang terdiri dari perempuan dan lelaki itu mengaku kecewa karena hasil keputusan Mahkamah Agung diabaikan pemerintah Jawa Tengah dengan keluarnya izin baru.Bahkan, warga yang menolak pun dijadikan tersangka dalam kasus  pemalsuan dokumen di persidangan. 

Sementara itu Ahli Geologi Surono menyarankan tidak boleh ada dulu kegiatan penambangan di kawasan CAT Watu Putih Rembang, Jawa Tengah, sampai bisa dibuktikan secara fisik ada sungai bawah tanah di sana. Sungai bawah tanah, kata Surono adalah salah satu syarat penting dalam penentuan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Rembang. Syarat  lainnya, seperti adanya endokarst berupa   mata air, dan gua bawah serta  eksokarst berupa  telaga, bukit karst dan  mata air  sudah terpenuhi.


Menurut Surono, material gamping di Watu Putih berbeda dengan batuan di Gombong, Jawa Tengah. Sehingga para ahli, kesulitan mencari celah untuk masuk dan membuktikan sungai bawah tanah itu ada. Meski, debit air yang keluar dari mata air di sana sangat besar. Debit besar, ujarnya hanya bisa keluar lewat aliran sungai.


"Itu bukan rembesan tapi aliran. Alirannya seperti apa, nah itu pembuktiannya tidak gampang. Harus terpenuhi kalau ngga, ya ngga bisa. Harus dipenuhi. Paling tidak dalam kurun waktu membuktikan sungai bawah tanah, beberapa unsur endokarst dan eksokarst memenuhi, ya ada unsur kehati-hatian sampai suatu waktu kita bisa menemukan bahwa itu sungai bawah tanah," ujarnya kepada KBR, Selasa (14/3/2017).


Surono mengingatkan sekali kawasan karst rusak, itu tidak akan terbentuk lagi. Sehingga, pemerintah perlu dengan tegas memutuskan itu sebagai kawasan lindung.


Surono mengaku beberapa teknologi  memang bisa dipakai untuk membuktikan sungai bawah tanah di Watu Putih. Namun, itu pun beresiko. Semisal Geo Listik, Gelombang Seismik dan Gelombang Elektromagentik.


"Batu kapur ini punya karakteristik tahanan jenis yang spesifik. Tidak mudah untuk ditembus aliran listrik dan elektromagnetik. Demikian juga elastisitas batu kapur, ini juga unik juga. Saya khwatir dengan menggunakan gelombang seismik tidak begitu sempurna perambatannya di daerah kapur. Sehingga pengungkapan sungai bawah tanah ini menjadi kabur," ujarnya.


Menurutnya, secara kajian ilmiah Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Rembang masuk dalam KBAK yang harus dilindungi. Namun, syarat fisik soal sungai bawah tanah tak bisa diabaikan.


"Bahwa bukti-bukti yang nonvisual dengan memasukan air garam yang punya elektrik konduktiviti tertentu memang terbukti muncul di mata air. Tapi itu bukan bukti yang disyaratkan untuk menjadi suatu bahwa itu KBAK," tegasnya.


Editor: Rony Sitanggang

  • aksi menyemen diri jilid 2
  • Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki
  • Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang Joko Prianto

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!