HEADLINE

Pro kontra, WNI Bekas ISIS Diadili di Indonesia

Pro kontra, WNI Bekas ISIS Diadili di Indonesia

KBR, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana berpendapat, penolakan pemulangan WNI eks ISIS oleh pemerintah sudah sesuai dengan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan.

Menurut Hikmahanto, nasib 600-an WNI eks ISIS mustinya diambil alih oleh Pemerintah Suriah maupun Irak yang menjadi basis kewarganegaraan mereka saat ini. Karenanya, menurut Hikmahanto, pemulangan ratusan WNI eks ISIS ke tanah air hanya akan dianggap aneh karena mereka itu dianggap sudah bukan warga negara lagi.

"Menurut saya, Pemerintah Indonesia tidak bisa banyak melakukan (sesuatu), sama saja seperti orang Indonesia yang dalam waktu tertentu misalnya dia naturalisasi dan kemudian menjadi Warga Negara Amerika (atau) Australia, kalau dia (WNI eks ISIS - red) ada kesusahan ya bukan lagi tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia. Aneh kalau kemudian pemerintah Indonesia akan melakukan suatu tindakan pemulangan dan lain sebagainya, karena (WNI eks ISIS) itu kan bukan warga negaranya. Tentunya yang harus men-take care itu adalah negara-negara yang dimana mereka ini jadi warga negara, seperti itu," tutur Hikmahanto kepada KBR, Rabu (12/2/2020).

Dilanjutkannya, kewarganegaraan WNI eks ISIS dianggap batal dan hal itu sudah sesuai dengan Pasal Nomor 23 UU Kewarganegaraan Tahun 2016. Bahkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2007 Pasal 31 Ayat 1 secara jelas disebutkan, "dengan sendirinya atau secara otomatis kewarganegaraannya hilang".

"Menurut UU sudah bukan merupakan WNI berdasarkan UU Kewarganegaraan, yang jelas mengatakan bahwa Kewarganegaraan mereka akan hilang kalau mereka memasuki dinas tentara asing bukan negara ya tapi tentara asing. Termasuk di sini ya seperti ISIS, pemberontakan dan sebagainya. Jadi itu yang pertama lalu, yang kedua ya mereka sudah menganggap bahwa Indonesia bukan negara mereka," ujar Hikmahanto yang mencapai gelar profesor pada usia termuda dalam sejarah Fakultas Hukum UI yaitu pada usia 36 tahun. 

Hikmahanto menambahkan, ratusan WNI eks ISIS itu boleh-boleh saja ada di Suriah, tapi bukan berarti negara itu juga yang harus mengaturnya. Karena, mereka itu dulu sempat menganggap bahwa ISIS itu adalah negara, sehingga mereka pun berkewarganegaraan ISIS. 

"Dimana mereka punya kewarganegaraan mereka boleh aja di Suriah, tapi kan tidak harus negara Suriah yang mengatur kan. Karena mereka menganggap bahwa dulu ISIS itu adalah negara dan mereka berkewarganegaraan ISIS ya silahkan saja, sekarang tanggung jawab dari ISIS bukan tanggung jawab dari Suriah," kata pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 itu.

Hikmahanto juga menegaskan, masalah status kewarganegaraan WNI eks ISIS tidak bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Alasannya? Karena ISIS bukan bagian dari peserta atau anggota. 

"Kalau kita bicara tentang ICC, maka itu tidak bisa dilakukan. Kenapa, karena memang ICC itu adalah negara yang menjadi peserta orang-orang yang menjadi peserta, pertanyaannya apakah ISIS merupakan peserta dari ICC? Kedua, apakah yang mereka lakukan masuk dalam kategori kejahatan internasional, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan lain sebagainya. Kalau misalnya mereka teridentifikasi memang bisa, tapi tadi lagi bahwa karena ini bukan dari bukan penandatangan dari Statuta Roma, tentu juga sulit kalau untuk diadili," terang Hikmahanto.

Ditegaskannya lagi, WNI eks ISIS tidak bisa diadili di Indonesia, karena yang berhak mengadili mereka hanyalah penyidik dari negara dimana mereka melakukan suatu kejahatan.

"Kalaupun mau diadili menurut saya harusnya hukum nasional dari negara dimana dia melakukan suatu kejahatan itu. Dalam hal ini kan mereka melakukan kejahatan kalau tidak di Suriah ya di Irak. Jadi pakai hukum nasional setempat, belum lagi kan kalau misalnya kita bicara proses hukum itu harus ada penyidik yang mencari alat bukti dan lain sebagainya ya ini harus di sana," tuturnya lagi.

Hikmahanto pun menyatakan apresiasi terhadap keputusan Pemerintah Indonesia yang tidak akan memulangkan ratusan WNI eks ISIS. "Saya sangat apresiasi ya, karena memang pemerintah dalam kapasitas tidak harus memikirkan mereka, karena bukan warga negara Indonesia. Mereka juga tidak menghendaki bahwa Indonesia sebagai negara mereka," pungkasnya.

Peradilan In-Absentia

Sementara itu, bekas hakim Mahkamah Agung dan pakar hukum Gayus Lumbuun berpendapat lain. Menurutnya, peradilan "in absentia" atau persidangan tanpa menghadirkan terdakwa bisa menjadi salah satu cara untuk menentukan nasib 600-an WNI bekas kombatan ISIS.

Menurut Gayus, pemerintah Indonesia tidak bisa secara serta-merta menolak memulangkan 600-an warga negaranya yang saat ini mengungsi di Suriah dan Turki. Pemerintah juga dinilai tidak bisa mencabut status kewarganegaraan mereka secara sepihak tanpa melalui persidangan, karena Indonesia merupakan negara hukum.

Pemerintah Indonesia, kata Gayus seperti dikutip Antara, tidak dapat secara serta merta menolak untuk memulangkan lebih dari 600 warga negaranya yang saat ini mengungsi di Suriah dan Turki. Atau, mencabut status kewarganegaraan mereka secara sepihak tanpa melalui persidangan, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, Indonesia merupakan negara hukum.

"Itu ada aturan hukumnya. Yang bakar paspor (dapat) dihukum pencabutan warga negara, dipidana seumur hidup, boleh, karena mengkhianati negara, tetapi itu hakim yang memutuskan bukan kekuasaan," kata Gayus usai menghadiri acara diskusi di Kampus UI Salemba, Jakarta (12/2/2020). 

Gayus  menyatakan, hasil keputusan rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor kemarin, yang memutuskan tidak akan memulangkan 600-an WNI bekas ISIS itu bukan landasan hukum yang sah untuk menentukan nasib para WNI.

"Jadi, ratas  hanya memutuskan sementara mencegah (mereka) masuk, selebihnya serahkan ke pengadilan. Jika sulit dihadirkan bisa (peradilan) in absentia. Yang jelas, ini ada suatu langkah hukum (terhadap para WNI mantan kombatan ISIS)," terangnya.

Ia menerangkan praktik hukum di Indonesia memiliki pengalaman membuat pengadilan in absentia, misalnya untuk kasus-kasus korupsi yang terdakwanya melarikan diri ke luar negeri. Sistem peradilan semacam itu, menurut Gayus, juga tidak memerlukan waktu lama karena pengadilan dapat membuat skala prioritas.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak akan memulangkan para WNI eks ISIS demi menjaga keamanan 260 juta warga Indonesia di tanah air. Keputusan itu disepakati Presiden Joko Widodo bersama para menteri terkait dalam rapat kabinet terbatas yang diadakan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (11/2/2020).

Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah akan menghimpun data pasti terkait jumlah dan identitas WNI bekas kombatan ISIS itu. Pemerintah juga memutuskan untuk tidak mengembalikan anak-anak WNI bekas kombatan ISIS yang berusia di atas sepuluh tahun, dengan alasan telah terpapar radikalisme. Sementara anak yang berusia di bawah sepuluh tahun akan dipertimbangkan pemulangannya.

“Teroris-teroris yang di luar negeri itu jumlahnya 689 orang tadi warga negara Indonesia ada di Suriah, di Turki dan beberapa negara terlibat Foreign Terrorist Fighter (FTF), itu akan dipulangkan atau tidak. Keputusan rapat tadi pemerintah dan negara harus memberi rasa aman terhadap 267 juta takyat Indonesia, karena kalau FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta itu merasa tidak aman. Sehingga pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, tidak, bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia,” ujar Mahfud, di istana Bogor, Selasa (11/02/2020). 

Editor: Fadli Gaper

  • WNI eks ISIS

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!