Article Image

SAGA

Dialita Tak Selalu Lagu

[AUDIO] NADA SAMBUNG TELEPON

DAMAR: Halo, Bu Uchi masih ingat suara saya?

UCHIKOWATI: Ya, siapa ya?

DAMAR: Damar.

UCHIKOWATI: Oh Damar. Apa kabar? Aku (kemarin) bilang sama ibu-ibu: masih inget nggak, Damar KBR? Oh, yang wawancara kita pertama kali ... (tertawa). Kemarin juga kami ke KBR, tapi saya nggak ikut, ada ibu-ibu lain.

DAMAR: Kenapa enggak datang?

UCHIKOWATI: Iya. Saya kelelahan banget. Soalnya konsernya cuma 1,5 jam tapi persiapannya berbulan-bulan. Terus bagi-bagi tugas, ibu-ibu (yang datang) itu kan rumahnya yang dekat kota.

***

Tujuh tahun berlalu. Pada 2012 saya sempat menulis cerita tentang paduan suara para penyintas tragedi 65/66 bernama, Dialita. Utji Kowati Fauzia tadi, salah satu anggotanya.

Saya pikir mereka sudah lupa. Tapi salam yang diganti peluk oleh Utji Kowati pada akhir Januari 2019 lalu, menyadarkan saya bahwa, mereka kuat dalam ingatan.

"Kebahagiaan bagi kami, bapak dan ibu, juga teman-teman bisa hadir untuk menyaksikan rilis album kedua yang diproduksi Rumah Bonita dan Dialita," kata Utji Kowati sebagai ketua paduan suara memberikan sambutan.

Persis, tak ada yang berubah kecuali waktu. Bu Uchi—begitu saya memanggilnya, masih sehat. Sementara Tuti Martoyo, Utati Koesalah, dan ibu-ibu lain terlihat segar, juga riang. Meski, kebanyakan mereka sudah berusia di atas kepala enam. Itu mengapa paduan suara ini dinamai Dialita, kependekan dari Di Atas Lima Puluh Tahun.

Sebagian besar anggota paduan suara yang dibentuk 2011 ini memang keluarga penyintas tragedi 65/66. Tapi sejumlah lainnya ada pula yang sama sekali tak punya sangkutan sejarah dengan tragedi berdarah tersebut.

Kamis malam 31 Januari di Goethe Haus Jakarta, mereka meluncurkan album kedua: Salam Harapan. Seperti yang pertama, 12 lagu kali ini mendapat sentuhan dari musisi-musisi muda. Di antaranya Petrus Briyanto Adi, Junior Soemantri, Endah Widiastuti, Bonita juga Andie Jonathan Palempung.

Tata cahaya berpusat ke panggung, satu per satu anggota Dialita mengisi deret kursi yang disusun dua lajur. Warna-warni kebaya keluaran Sri Kendes menyala: magenta, merah, ungu, tosca juga orange.

Saya mengamati seisi ruang dari bangku paling depan: kursi nyaris penuh, ada 300 lebih penonton. Beberapa wajah tampak tak asing, terlihat komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, penyintas 65/66 Tedjabayu di bangku sisi kiri saya, juga pegiat kemanusiaan yang pernah menggawangi Komnas HAM Hari Wibowo.

Tuti Martoyo duduk paling kanan, di bagian suara sopran. Dari bangku penonton, perempuan usia 75 itu terlihat sesekali meluruskan punggung ke senderan kursi, lalu melepas sandal wedges-nya. Ia tak kuat berdiri lama-lama. Saat bernyanyi saja, tangan kanannya harus bertumpu pada tongkat berkaki tiga yang, menopang beban tubuhnya.

Tapi begitu konduktor memberi aba-aba, meski dengan penuh upaya, Tuti lekas berdiri.

[AUDIO] MUSISI MENYANYIKAN SALAM HARAPAN

Bersama terbitnya matahari pagi

Mekar mewah mekarlah melati

Salam harapan padamu kawan

S’moga kau tetap sehat Sentosa

"Lagu Salam Harapan dibikin di dalam penjara Bukit Duri. Di situ ibu-ibu saling mendukung. Karena di dalam penjara itu sangat susah dan sangat menderita sekali. Jadi untuk saling menguatkan," ungkap Tuti sambil meluruskan punggung ke kursi.

Huru-hara politik 65/66 mengakibatkan setengah juta lebih rakyat jadi korban tewas, sementara ribuan orang dipenjara. Soeharto—yang saat itu Jenderal Angkatan Darat—memerintahkan perburuan orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) juga para pengikut Soekarno.

Narasi yang santer, salah satu partai beken pada Pemilu 1955 itu dituding sebagai dalang pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965. Kendati, tuduhan ini tak pernah bisa dibuktikan.

Belakangan referensi lain mengungkap, tragedi kemanusiaan 65/66 terjadi akibat konflik di internal angkatan darat.

Bukit Duri, Jakarta jadi bagian kecil dari simpul bangunan yang memenjara tahanan politik perempuan. Titik lain, ada Kamp Plantungan di Kendal, Penjara Bulu di Semarang, juga di Malang, Jawa Timur. Di dua lokasi terakhir, jumlah yang ditahan mencapai 500 orang lebih.

Di penjara-penjara itulah, puluhan lagu tercipta. Jadi pelipur sepi, penyemangat, kadang pula penggembira. Puluhan tahun berselang, lagu-lagu itu terserak, beberapa coba kembali dikumpulkan.

"Kami punya stok sekitar 25-30an lagu. Dan ini kami kumpulkan sejak tahun 2000," kata Uchi saat menjawab pertanyaan penonton. Lagu berjudul 'Salam Harapan" adalah salah satunya.

Tak mudah membikin lagu dalam penjara. Terbatasnya alat tulis dan kertas, membuat tahanan perempuan mengingatnya dalam kepala. Pilihan lain, menulis lirik dan notasi pada tanah juga tembok sel.

Salam Harapan misalnya, ditulis di sela kerja paksa di penjara Bukit Duri. Lirik lagu ditulis Murtiningrum. Lantas di bawah pohon kersen Penjara Bukit Duri, Zubaidah menyusun notasinya. Ini jadi salah satu lagu wajib tiap kali ada tahanan berulang tahun.

Puluhan tahun setelah itu, Sita Nursanti menyanyikan untuk penonton di Goethe Haus Jakarta. Saya bergidik. Sesekali coba melirik, yang lain sedang khidmat menyimak.

Nasib lagu bikinan Zubaidah ini tergolong mujur. Sekalipun tak seorang pun mengingat judulnya, karena masih banyak yang hafal lirik serta nadanya, lagu ini panjang usia. Untuk memudahkan, akhirnya bait terakhir ‘tetap senyum menjelang fajar’ dipilih jadi judul.

Kebanyakan lagu di album kedua lahir dari rahim Penjara Bukit Duri. Di lokasi ini pula, kerinduan Utati Koesalah malih rupa menjadi lagu berjudul Ibu.

Lagu berumur puluhan tahun itu berhasil ia bawa keluar penjara berkat secarik kertas bekas bungkus roti tawar. Ia menulis itu pada tahun pertamanya di penjara, bermodal pensil pinjaman Kepala Blok.

Lirik lagu menggambarkan kegusaran saat Utati muda memikirkan ibunya. Tak pernah lintas dalam benak, anak sulung ibu bakal dijebloskan ke penjara.

Wajah sang ibu terbayang berkali. Pelan-pelan nada lagu pun bergema. Iramanya sendu. Malam pengujung Januari lalu, musisi muda Endah Widiastuti melantunkannya dengan syahdu.

[AUDIO] ENDAH WIDIASTUTI MENYANYIKAN LAGU IBU

Terkenang s'lalu kasihmu yang sejati

Cintamu yang abadi ikhlas dan murni

Teringat s'lalu belai sayangmu ibu

Kata dan nasihatmu terngiang s'lalu

Kuterbayang wajahmu ibu

Harapanku padamu sehatlah s'lalu

Utati, ditahan 11 tahun lamanya, tanpa peradilan. Ia ditangkap, hanya karena aktif berkesenian di Pemuda Rakyat—organisasi yang terafiliasi dengan PKI. Tapi malam itu, ia, juga perempuan penyintas lain lega, lagu-lagu dari balik penjara bisa diterima.

Jerih berbulan pun terbayar.

"Kami haru, sekaligus bangga, ternyata lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita ini bisa diterima generasi muda. Saya sungguh …. terharu, karena suara Dialita ternyata didengar, lagu-lagu kami semoga bisa diterima oleh masyarakat luas bukan hanya generasi muda. Yang dulu kami belum berani menyanyikannya, termasuk lagu-lagu yang dibungkam, tapi ternyata sekarang lagu ini bisa diterima dan digemari anak-anak muda.. terima kasih semua," tutur salah satu anggota Dialita, Elly Runtu.

[AUDIO] TEPUK TANGAN PENONTON PERTUNJUKAN

	<td>:&nbsp;</td>

	<td>Damar Fery Ardiyan&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td>&nbsp;Editor</td>

	<td>:&nbsp;</td>

	<td>Nurika Manan&nbsp;</td>
</tr>
 Reporter