RUANG PUBLIK

(CEKFAKTA) Debat Capres: Jokowi Sebut Penggunaan Energi Fosil Semakin Dikurangi, Benarkah?

(CEKFAKTA) Debat Capres: Jokowi Sebut Penggunaan Energi Fosil Semakin Dikurangi, Benarkah?

KBR, Jakarta - Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, mengklaim ketergantungan Indonesia pada energi fosil akan semakin dikurangi dari tahun ke tahun.

“Ke depan kita ingin sebanyak-banyaknya mengurangi pemakaian energi fosil, sehingga pemakaian biodiesel, pemakaian green fuel, akan kita kerjakan. Sudah kita mulai dengan melakukan produk di B20, ini akan kita teruskan sampai ke B100, sehingga ketergantungan kita pada energi fosil akan semakin dikurangi dari tahun ke tahun," kata Jokowi ketika mengikuti debat calon presiden kedua, di Jakarta, Minggu (17/2/2019).

Fakta:

Menurut sejumlah tim ahli dan pengamat, klaim Capres nomor urut 01 itu bernilai tidak benar.

Dalam Presidential Debate Live-Fact Checking di kantor Google, Jakarta (17/02/2019), Adhityani Putri, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah menjelaskan pemanfaatan minyak untuk ketenagalistrikan memang telah menurun yaitu diesel dalam bentuk PLTD).

"Tetapi pemanfaatan batubara untuk ketenagalistrikan meningkat (pembangunan PLTU baru dalam program 35 ribu megawatt). Sehingga proporsi batubara dalam bauran ketenagalistrikan meningkat dari 53 persen di tahun 2015 menjadi 60 persen di tahun 2019.”

Adhityani Putri juga menyebut bahwa pertumbuhan energi terbarukan malah melambat. “Laju pengembangan energi terbarukan sebagai sumber ketenaglistrikan malah mengalami penurunan atau lebih lambat dari yang seharusnya. Apabila Indonesia ingin mencapai target 23 persen pada tahun 2025 sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maka harus mempercepat peralihan dari energi fosil dan mempercepat pengembangan energi terbarukan,” ujarnya.

Hal senada dikonfirmasi Iqbal Damanik, peneliti dari Auriga. Ia menyebut bahwa, “Porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi tahun 2018 masih kecil yaitu 12,5 persen, masih jauh dari target 23 persen di tahun 2025. Dalam dokumen perencanaan ketengalistrikan, penggunaan PLTU (sumber batubara) bahkan tidak menunjukkan penurunan dari tahun 2018 hingga 2024, masih diatas 65 persen dan hanya direncanakan turun di tahun 2025 sebesar 54 persen.”

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) juga sependapat. Elrika Hamdi selaku perwakilan IEEFA untuk Indonesia menyatakan bahwa, “Diesel telah menurun dalam lima tahun terakhir, namun batu bara semakin banyak, dengan bertambahnya jumlah PLTU baru yang commission atau under construction.”

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita A. Widyaningsih, juga pernah meriliis publikasi ilmiah berjudul Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia (Jurnal Hukum Lingkungan, 2018). Dalam makalah risetnya, ia menyatakan bahwa proyek infrastruktur ketenagalistrikan Indonesia periode 2018 – 2027 belum sejalan dengan komitmen lingkungan.

Grita menyebut, dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) proyek-proyek infrastruktur energi tidak sesuai dengan potensi daerah. Sulawesi Utara, misalnya. Grita mencatat bahwa potensi energi terbesar di sana adalah tenaga surya (2.113 megawatt) serta tenaga angin (1.214 megawatt). Namun, proyek terbesar yang terdaftar dalam RUPTL setempat malah penambahan kapasitas PLTU batubara.

Sama halnya dengan Jawa dan Bali. Menurut catatan Grita, Jawa Barat memiliki potensi geothermal terbesar di Indonesia. Provinsi Yogyakarta juga punya potensi tenaga surya sangat besar hingga di atas 11.000 megawatt. Kendati demikian, dalam RUPTL 2018 – 2027, rencana proyek infrastruktur terbesar di Jawa dan Bali lagi-lagi masih bertumpu pada penambahan kapasitas PLTU batubara.

Grita pun menyebut, rencana proyek infrastruktur energi ketenagalistrikan Indonesia ternyata belum didesain sejalan dengan komitmen lingkungan.

 

  • debat capres
  • energi fosil
  • energi
  • listrik
  • Cekfakta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!