BERITA

Ketika Anak Timor-Timur Dipindahkan (Paksa) ke Indonesia

Ketika Anak Timor-Timur Dipindahkan (Paksa) ke Indonesia

KBR68H - Timor Timur dulu pernah jadi provinsi ke-27 Indonesia, sebelum akhirnya memutuskan untuk berpisah lewat Referendum pada 1999 silam. Sejak itu Timor Timur berubah nama menjadi Timor Leste. 


Tapi tak hanya perubahan itu yang dialami si negara baru. Ada lembaran hitam masa lalu yang sedianya mesti dikuak, juga dengan peran yang tak kalah penting dari Indonesia. Helene van Klinken memberi kisi-kisi soal masa lalu itu lewat bukunya “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam”. Buku yang baru-baru ini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia ini memuat secuplik kisah ribuan anak Timor Timur yang dipindahkan ke Indonesia pada rentang 1975-1999. 


Kenapa dan bagaimana anak-anak ini dipindahkan ke Indonesia? Apakah mereka tahu soal masa lalu dan keluarga meraka yang masih menanti di Timor Leste? Alif Imam berbincang dengan penulis buku, sekaligus peneliti dari University of Queensland, Australia soal ini untuk program Sarapan Bersama yang disiarkan KBR68H, TV Tempo dan PortalKBR.


Anak-anak Tim-tim di Indonesia:  Sebuah Cermin Masa Kelam. Bagian masa kelam apa sebetulnya yang diungkapkan oleh buku ini?


"Saya berharap dengan buku ini cerita banyak anak yang dibawa dari Timor Timur ke Indonesia selama Indonesia berkuasa di sana. Mungkin dapat inspirasi untuk mencari keluarga mereka dan juga membantu keluarga mencari kembali anak-anak mereka yang dibawa ke Indonesia. Jelas tidak semua yang hilang tetapi ada sebagian."


Kisah itu kapan?


"Awal tahun 2000-an saya berada di Yogyakarta dan tentu saya dari cerita langsung dari seorang yang dibawa ke Ambon pada tahun 80-an."

 

Setelah delapan tahun kolonisasi Indonesia di Timor Leste ya? 


"Iya betul. Sesudah itu saya bekerja sebagai sukarelawan di Komisi Kebenaran, saya dengar banyak cerita yang mirip lalu saya dapat inspirasi untuk menulis sebuah buku. Sebenarnya buku bahasa Indonesia tujuan saya tetapi untuk sampai ke buku saya harus mulai dengan tesis."


Yang dilacak adalah anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia sejak masa pertama invasi Indonesia ke Timor Leste tahun 75 rentang waktunya sangat panjang, bagaimana Anda melacak mereka? 


"Ya mereka rata-rata semua orang dewasa, itu sulit memang karena tidak ada bahan tertulis tentang anak-anak ini. Sebenarnya ada sedikit, makin lama saya menemukan bahan tertulis. Saya dapat banyak bantuan dari Komisi Kebenaran karena pada waktu itu masyarakat memberi kesaksian kepada Komisi Kebenaran mengenai pelanggaran HAM dan sebagainya."

 

Anda menyebutkan ada sekitar empat ribuan, ini angka yang memang dilaporkan Komisi Kebenaran atau memang dari penelitian lapangan?


"Sebenarnya hanya sedikit yang dilaporkan kepada Komisi Kebenaran. Ada cukup banyak yang dilaporkan Komite Palang Merah Internasional, mereka melaporkan kira-kira jumlah yang sama. Tetapi saya mendapat jumlah itu lewat wawancara saya yang dibawa, memang itu perkiraan tetapi saya merasa masih konservatis."

 

Apa kira-kira motif dari pemindahan anak-anak Timor Leste ke Indonesia pada waktu itu? 


"Ada macam-macam jelas. Tetapi saya merasa bahwa pada dasarnya orang Indonesia yang ada di sana ingin membantu membangun Timor Timur, kita semua tahu bahwa pendidikan selalu dianggap oleh Orde Baru sebagai bagian inti dari pembangunan. Jadi mereka melihat anak-anak ini ada yang terlantar tetapi juga banyak mereka menganggap pendidikan di Indonesia lebih baik. Jadi mereka kasih kesempatan membawa mereka ke Indonesia untuk dididik, tapi banyak hak anak untuk bersama orang tua di lingkungan mereka juga."


Mungkin maksudnya baik memberi pendidikan, tetapi modusnya itu yang barangkali bisa diberitahu sehingga kita bisa menilai apakah motif itu sejalan dengan yang dilakukan?


"Memang ada anak yang diperlakukan dengan baik oleh orang yang membawa mereka dan mereka diperlakukan sebagai anak sendiri tetapi banyak yang tidak. Jadi ada bermacam-macam dan ya itu kenyataan." 


Di dalam buku Anda disebutkan ada beberapa anak yang dipaketkan dalam peti-peti untuk menyembunyikan pengangkutan mereka ke kapal-kapal yang meninggalkan Dili. Ada modus penyelundupan juga didalam pemindahan ini? 


"Tentara dapat instruksi hanya boleh membawa anak-anak yang diakui sudah yatim piatu. Kalau tidak dapat persetujuan bupati lalu mereka tidak boleh dibawah, dua anak ini kebetulan bapaknya dipenjarakan. Tentara minta izin membawa anak tetapi bapak itu tidak mau memberi izin, lalu anak ini dibawa ke Dili. Waktu masuk kapal ternyata mereka dibungkuskan, pertama kali saya dengar saya pikir orang ini sedikit bingung apakah itu terjadi tetapi makin lama saya lihat itu sering terjadi."

 

Ini kegiatan resmi dari tentara? 


"Tidak resmi. Sebenarnya dilarang, mungkin atasan mereka tidak mempedulikan karena tidak disuruh anak itu dikembalikan Juga tentara yang perwira tinggi banyak yang membawa anak. Mereka bilang untuk membantu anak-anak itu, mungkin ditumbuhkan terpisah dari orang tua mereka, belas kasih buat anak-anak ini. Tetapi entah orang tuanya masih hidup dan tidak pernah dicari kembali keluarga mereka. Jadi begitu memberikan satu contoh bahwa membawa anak keluar dari Timor Timur satu cara untuk membantu pembangunan di sana." 


Ini di Cendana rumah Pak Harto waktu itu ya? 


"Iya betul. Mereka dibawa dari kamp-kamp pengungsian, waktu masyarakat turun dari gunung. Mereka menyerah kepada tentara Indonesia, mereka harus tinggal di kamp konsentrasi dimana mereka diperiksa oleh tentara sebelum mereka boleh keluar. Banyak yang tidak boleh kembali kepada desa aslinya."


Apa yang bisa Anda ceritakan tentang foto ini?


"Saya sangat senang, saya merasa waktu saya mendapat foto itu tidak perlu saya menulis buku itu karena semuanya ada di dalam gambar itu."

 

Ini menggambarkan apa-apa yang mau dicapai oleh Orde Baru pada waktu itu?


"Iya seorang presiden mau menerima anak-anak kecil ini di rumah pribadi dia dan ada foto-foto lain di dalam buku itu dimana ibu menyajikan makanan kepada mereka. Waktu itu bulan puasa, jadi seperti yang anak dari agama Katolik masuk ke Indonesia diterima begitu saja, diperlakukan dengan baik. Tetapi ada juga dari negara ingin menunjukkan bahwa ini satu kegiatan propaganda untuk menunjukkan bahwa sebaiknya Timor Timur menjadi bagian Indonesia, kembali ke bapak ibu." 


Presiden Soeharto dan istrinya Ibu Tien menampilkan anak-anak ini di depan rumahnya, foto ini diambil tahun 1977. Bagaimana reaksi publik pada waktu itu? 


"Itu yang saya tidak tahu, saya menemukan gambar ini di sebuah koran yang lama. Sebenarnrya saya tidak tahu bagaimana reaksi, kecuali ada satu orang yang bilang kepada saya dia melihat foto saya kira juga ada di televisi TVRI. Sesudah itu dia ke Dili dan dia membawa anak ke Indonesia."

 

Dari foto ini ada yang Anda kenali?


"Ada satu yang saya kenal tetapi dia tidak masuk karena ini tidak semua masuk gambar. Dia sekarang kepala sekolah di Dili, dia yang menceritakan tentang semua anak ini."

 

Siapa namanya?


"Hendrik A."


Bagaimana kabar Hendrik?


"Dia hilang, dia melarikan diri mungkin tahun 1983. Ada sedikit masalah di asrama di sana dan beberapa anak yang lari kembali tetapi dia tidak kembali ke asrama. Petrus kasih tahu bahwa dia kenal semua orang lain dimana apa yang terjadi kecuali Hendrik, belum ada berita sampai hari ini."

 

Bisakah kita bilang bahwa banyak juga anak-anak lain yang seperti Hendrik dan kita tidak tahu lagi kabarnya?


"Tentu saja saya merasa itu benar. Banyak yang melarikan diri dari pesantren atau dari rumah tentara atau sipil yang membawa mereka karena tidak senang, diperlakukan tidak baik maka melarikan diri. Banyak yang kembali ke Timor Timur yang mencari orang tuanya. 


Anda memulai juga buku ini diantaranya dengan kisah perempuan yang sudah punya anak dan tinggal di Jakarta. Dari pertemuan Anda apa yang membuat kemudian bisa menerima itu semua dan tinggal bersama orang tua angkatnya dan sekarang menetap di sini? 


"Karena dia masih anak, seorang anak harus menerima orang yang memelihara mereka. Kalau tidak ada gangguan psikologis, mereka harus selalu tergantung kepada orang yang mengasuh mereka, mereka harus terima itu justru mereka jadi orang Indonesia."

 

Itu upaya yang dilakukan dulu baik secara individu maupun para pemimpin tentara di sana. Ini upaya yang sporadis atau justru sistematis?


"Kalau sistematis dalam hal itu suatu kebijakan saya rasa tidak. Tetapi itu sering terjadi dan karena anak-anak dibawa presiden saya kira ini menjadi contoh orang lain, kalau mau membawa anak dari Timor Timur di Indonesia dan membesarkan mereka. Itu dibiarkan saja, sebenarnya ada usaha supaya anak-anak yang yatim piatu yang dibawa ke Indonesia tetapi dalam kenyaannya itu tidak terjadi. Tetapi tetap dia dibawa ke Indonesia oleh tentara itu, mereka ada yang betul-betul tidak punya orang tua tetapi mereka mempunyai keluarga."

 

Kelihatannya ini menjadi proyek jangka panjang karena campur dengan Indonesia, kalau saja tidak ada tahun 1999 maka Timor Leste akan menganggap selamanya menjadi bagian Indonesia. Foto ini membuat gelombang perekrutan anak-anak itu menjadi besar ya? 


"Tergantung, ada macam-macam cara oleh perorangan dari tentara dan lembaga. Pada awalnya itu tentara yang bawa banyak tetapi itu selama ada perang di sana akhir tahun 70-an dan awal 80-an. Sesudah itu anak-anak dibawa tahun 90-an khususnya lembaga Islam, mereka dikirim ke pesantren-pesantren di Indonesia. Khususnya di daerah Bandung, Sulawesi Selatan banyak yang dikirim."

 

Melalui buku ini sebagai sebuah catatan sejarah yang sangat penting. Tetapi dalam konteks Indonesia-Timor Leste sekarang apa yang bisa diharapkan dari pemerintah kedua negara?


"Saya rasa yang penting bahwa kedua negara membantu dengan memfasilitasi, membantu anak-anak mencari orang tua atau orang tua dari Timor Leste sekarang. Mereka mungkin punya informasi tentang anak mereka yang dibawa ke sini, supaya anak itu bisa ditemukan dan banyak yang miskin tidak punya dana. Jadi membantu mereka untuk bertemu kembali."


Kompensasi barangkali ya?


"Mungkin tetapi ada juga banyak peristiwa lain yang terjadi yang membuat orang derita, tidak ada kompensasi sama sekali."

 

Memang prioritas pertama untuk anak-anak ini adalah bertemu kembali ya? 


"Saya merasa setiap orang punya hak untuk tahu identitas mereka, orang tua mereka."   


  • Timor Leste
  • anak hilang
  • Helene van Klinken

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!