BERITA

Jatam: RUU Omnibus Law Bisa Pupus Perjuangan Pegiat Lingkungan

""Jadi bagi perusahaan tambang tertentu yang memiliki program hilirisasi, tidak ada batasnya. Apa dampak ini semua? Pengusiran akan terjadi terhadap orang-orang di kampung.""

Wahyu Setiawan, Valda Kustarini

Jatam: RUU Omnibus Law Bisa Pupus Perjuangan Pegiat Lingkungan
Ilustrasi tambang batubara di Kalimantan Timur. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut hadirnya Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa memupus perjuangan terhadap kelangsungan lingkungan hidup.

Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, omnibus law itu seakan lebih memihak kepada perusahaan-perusahaan tambang.


Merah menyebut, dari draf yang ia pelajari, pemerintah berencana memangkas tahapan izin produksi dan eksplorasi hanya menjadi satu.


Di sisi lain, mekanisme itu akan makin mempersulit para pegiat lingkungan hidup jika akan menggugat izin perusahaan tambang.


"Dampaknya apa bagi perjuangan lingkungan? Contohnya, perjuangan kawan-kawan Walhi Kalsel, yang kemarin menggugat izin pertambangan di Pegunungan Meratus. Yang digugat adalah izin operasi produksinya. Gugur (izinnya), gugatan berhasil di pengadilan. Tapi kalau dia disatukan (izinnya), status eksplorasi dan operasi produksinya, artinya semuanya akan lebih mudah, otomatis mereka langsung mendapatkan izin," kata Merah, Minggu (19/1/2020).


Koordinator Jatam Merah Johansyah menambahkan, hadirnya omnibus law juga mengancam keberadaan masyarakat yang tinggal di sekitar tambang. Sebab, pemerintah tidak akan memberi batasan waktu serta bisa menambah luasan konsesi bagi perusahaan yang melakukan program hilirisasi.


Hilirisasi maksudnya, perusahaan tambang yangg terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian. Program ini biasanya dijalankan bagi perusahaan tambang batu bara yang sekaligus menjalankan PLTU.


"Jadi bagi perusahaan tambang tertentu yang memiliki program hilirisasi, tidak ada batasnya. Apa dampak ini semua? Pengusiran akan terjadi terhadap orang-orang di kampung. Bukan sekadar penggusuran, tapi pengusiran terhadap orang-orang di kampung dan akan menciptakan yang namanya pengungsi sosial ekologis," tambahnya.


Merah Johansyah melihat arah kebijakan pemerintah ini justru makin melonggarkan keberadaan perusahaan tambang batu bara, yang notabene merupakan energi kotor. Padahal, perusahaan seperti ini nyata-nyata merusak lingkungan hidup.


Ia khawatir omnibus law ini akan membuat lingkungan hidup di Indonesia makin buruk.

Simak juga informasi terkait lainnya:

Hilangkan Kepastian Perlindungan


Sementara itu, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai pasal-pasal soal lingkungan di Omnibus Law bakal menghilangkan kepastian perlindungan pada lingkungan.


Direktur ICEL Raynaldo Sembiring menyebut RUU Omnibus Law justru memangkas standar-standar untuk perlindungan dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan.


Misalnya soal pemangkasan AMDAL. Ia menyebut tanpa adanya Omnibus Law UU Lingkungan sudah cukup secara normatif, meski memang ada masalah dalam implementasi.


"Ketika masalah Omnibus ini diperlakukan saya melihatnya tidak ada jaminan sama sekali. Bahkan RUU ini memang benar-benar tidak menaruh lingkungan sebagai hal penting dalam poros investasi yang mau dibangun," kata Reynaldo Sembiring saat dihubungi KBR, Senin (20/1/2020).


"Situasi sekarang dari draft sekarang dia sudah mulai mengurangi jaminan-jaminan yang secara normatif ada dalam Undang-undang Minerba. Kita bisa bilang jaminannya semakin berkurang, dan pada satu titik  itu akan sama sekali ilang," tambah Reynaldo.


Salah satu sorotan terhadap Omnibus Law adalah adanya pemberian insentif berupa jangka waktu bagi tambang yang terintegrasi dengan smelter atau pabrik pemurnian/pengolahan.


Insentifnya berupa jangka waktu operasional 30 tahun, dan dapat diperpanjang 10 tahun setiap kali perpanjangan tidak terbatas sampai dengan seumur tambang.  


Menanggapai hal tersebut, Reynaldo mengatakan ketentuan itu bisa menjadi multitafsir. Ia menjelaskan seumur tambang bisa diartikan selama tambang tersebut masih bisa dieksplorasi.


"RUU ini tidak mengacu kepada seberapa kuat daya dukung dan daya tampung lingkungan. Melainkan seberapa banyak, seberapa kuat dan seberapa lama indiferensi pelaku usaha dalam melakukan penambangan," katanya.


Salah satu hal yang diatur adalah tambang batu bara yang semula menganut sistem rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Namun, tidak seperti Undang-Undang Minerba yang menggunakan istilah IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), omnibus law menggunakan istilah baru yakni menjadi Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK).


Dengan adanya Omnibus Law ini justru membuat pemegang tambang lebih mudah memperpanjang izin tambangnya.

Ikuti juga informasi lainnya:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/01-2020/4_klaim_pemerintah_soal_omnibus_law_lapangan_kerja/102015.html"> 4 Klaim Pemerintah Soal Omnibus Law Lapangan Kerja</a> </b></li>
    
    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/01-2020/lbh_jakarta__omnibus_law_bikin_buruh_gampang_kena_phk/102020.html"> LBH Jakarta: Omnibus Law Bikin Buruh Gampang Kena PHK</a> </b></li></ul>
    

     

    Editor: Agus Luqman 

  • omnibus law
  • tambang
  • hilirisasi
  • lingkungan hidup

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!