RUANG PUBLIK

Strategi Jepang Hadapi Bencana Gempa dan Tsunami

Strategi Menghadapi Gempa

KBR- Jika dilihat dari segi kerawanan bencana, Jepang adalah negara yang cukup mirip dengan Indonesia. Keduanya berada di atas pertemuan lempeng-lempeng benua, terletak di jalur Cincin Api Pasifik, dan sama-sama punya banyak gunung api. Akibatnya, Jepang dan Indonesia sama-sama berpotensi besar dilanda gempa dan tsunami. Karenanya butuh strategi menghadapi bencana yang jitu.

Namun saat bicara tentang manajemen tanggap bencana, Jepang jelas sudah beberapa langkah lebih maju dari Indonesia. Di bawah ini adalah beberapa strategi masyarakat Jepang dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami.


Belajar dari Bencana dan Buat Strategi 

Dalam sejarahnya, Jepang telah berkali-kali dihantam bencana tragis.

Pada  1923 “Negeri Sakura” ini pernah diguncang gempa berskala 7,9 SR yang memakan korban hingga 100.000 jiwa. Kemudian 1995 Jepang diserang gempa berskala 7,3 SR dan   2011 datang lagi gempa berkekuatan 9 SR yang disusul tsunami.

Berbagai bencana tersebut membuat Jepang menderita kerugian parah, mulai dari banyaknya korban jiwa, kerusakan infrastruktur, hingga kerugian ekonomi mencapai ratusan miliar dolar.

Tapi bukannya lantas hancur dan terpuruk. Berbagai bencana tersebut malah semakin mendorong Jepang untuk melakukan studi-studi mendalam terkait gempa dan tsunami. Jepang punya strategi menghadapi bencana yang baik.

Menguatkan Riset Terkait Bencana

Pada 2012, satu tahun setelah Jepang dilanda tsunami setinggi 20 meter, Universitas Tohoku membentuk International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS). Institut ini dibangun di bekas kawasan yang terdampak tsunami, dengan misi utama mempelajari manajemen tanggap bencana dengan lebih seksama.

Studi-studi yang dilakukan di IRIDeS mencakup bidang yang luas, mulai dari pengobatan untuk kasus-kasus medis di tengah bencana, sampai ke penanganan trauma psikologis pasca-bencana.

Berbagai studi tersebut dirancang untuk mempercepat proses pemulihan sosial-ekonomi dan rekonstruksi masyarakat Jepang setelah tertimpa bencana alam.


Mengembangkan Alat Pendeteksi Bencana

Riset kebencanaan di Jepang telah membuahkan berbagai hasil, salah satunya adalah sistem pendeteksi gempa dan tsunami yang disebut Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS).

Menurut penjelasan Shin Aoi, direktur dari National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience (NIED), MOWLAS adalah sistem pendeteksi bencana yang mampu menjangkau seluruh daratan dan kawasan laut di sekitar Jepang.

MOWLAS diklaim mampu mendeteksi berbagai frekuensi getaran bumi secara langsung, dan bisa memberi peringatan bencana hingga 20 menit sebelum kejadian.

Dengan demikian, saat terjadi gempa atau tsunami, masyarakat memiliki cukup tambahan waktu untuk melakukan evakuasi dan meminimalisir korban jiwa.


Membangun Fasilitas Darurat Bencana

Pemerintah Jepang juga membangun fasilitas darurat bencana di sejumlah wilayah yang rawan terdampak bencana. Salah satunya adalah Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park yang dibangun di distrik Koto, Tokyo.

Saat keadaan normal, taman seluas 13 hektare ini bisa digunakan warga untuk rekreasi. Di hari-hari biasa, masyarakat juga bisa mengikuti latihan simulasi evakuasi bencana di tempat ini.

Namun saat terjadi gempa atau tsunami, Tokyo Rinkai Park bisa difungsikan juga sebagai tempat berlindung. Tokyo Rinkai memiliki aula tahan gempa yang bisa menampung hingga ratusan orang, memiliki perlengkapan medis, serta dilengkapi 7 buah helikopter penyelamat.

Dengan fasilitas ini masyarakat bisa belajar cara evakuasi bencana dengan mudah. Warga Tokyo juga tak perlu bingung mencari tempat berlindung saat bencana terjadi. Strategi menghadapi bencana yang sangat komprehensif yang selayaknya kita teladani.


(Dari berbagai sumber)

  • mitigasi bencana
  • gempa
  • tsunami
  • jepang
  • alat pendeteksi bencana

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!