BERITA

OSO Masuk DPT, Tapi Mundur dari Pengurus Parpol Jika Terpilih

OSO Masuk DPT, Tapi Mundur dari Pengurus Parpol Jika Terpilih

KBR, Jakarta - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memutuskan untuk memasukan nama Oesman Sapta Odang dalam daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilihan Umum 2019.

Keputusan tersebut tercantum dalam putusan sidang dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (9/1/2018).


Ketua Majelis sidang, Abhan menyatakan KPU sebagai terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu.


Majelis sidang lantas memerintahkan terlapor untuk melakukan perbaikan administrasi dengan mencabut Keputusan KPU tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.


"Memerintahkan terlapor untuk menertibkan keputusan baru tentang penetapan daftar calon tetap perseorangan peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang mencantumkan kembali daftar calon tetap yang sebagaimana yang terdapat dalam lampiran keputusan Komisi Pemilihan Umum 1130/PL.1.4-kpt/06/kpu/IX/2018 tanggal 20 September 2018. Serta mencantumkan, nama DR. H. Oesman Sapta sebagai calon tetap perseorangan peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 paling lama 3 hari kerja sejak putusan dibacakan," kata Abhan, di Ruang Sidang Bawaslu RI, Jakarta.


Dalam keputusannya, Bawaslu juga memerintahkan KPU tidak menetapkan Oesman Sapta sebagai calon anggota DPD jika tidak sebagai sebagai pengurus partai politik, paling lambat 1 hari, sebelum penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Daerah.


"Kemudian memerintahkan, kepada terlapor untuk tidak menetapkan Oesman Sapta Odang sebagai calon terpilih pada Pemilihan Umum tahun 2019 apabila tidak mengundurkan diri sebagai pengurus Partai politik paling lambat 1 hari sebelum penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Daerah," kata Abhan.


Sementara itu, Kuasa Hukum Oesman Sapta Odang (OSO), Herman Kadir menyayangkan putusan Bawaslu dengan syarat tersebut.


Menurutnya, putusan yang memerintahkan KPU untuk memasukan OSO ke DCT, tetapi jika terpilih menjadi anggota DPD harus diminta mundur ketika penetapan anggota DPD terpilih tidak sepenuhnya mematuhi perintah putusan PTUN.


"Sebab masih ada embel-embel pengunduran diri juga. Walaupun itu terakhir, atau satu hari sebelum di-SK kan. Jadi OSO akan masuk di-DCT dulu. Tapi ketika dia terpilih dia harus undur diri lagi. Jadi kami nilai putusan Bawaslu juga tidak mengakomodir putusan PTUN," katanya di Gedung Bawaslu RI, Jakarta.


Herman Kadir melanjutkan, putusan PTUN merupakan putusan yang final mengikat. Ia melanjutkan, putusan PTUN sama sifatnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta sama kuatnya dengan putusan Mahkamah Agung (MA).


Kemudian, sengketa pemilu juga telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu dan KPU wajib melaksanakannya.


Kuasa Hukum OSO menilai, kliennya telah melalui prosedur sengketa di Bawaslu, kemudian menggugat ke PTUN dan dikabulkan, yang secara keseluruhan dikabulkan termasuk soal memasukan nama OSO dalam DCT, tanpa embel-embel surat mengundurkan diri.


"Kami sekali lagi tegaskan bahwa Pemilu itu ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Sengketa itu diatur dalam Undang-Undang itu, dan tidak pernah diuji secara material oleh siapapun di MK soal sengketa itu. Jadi kekuatan hukum sama. Ini oke lah, hanya sebagian catatan kami bahwa wajib hukumnya bagi KPU untuk catat nama OSO dalam DCT. Nah kami agak keberatan yang masih ada surat pengunduran diri itu. Suatu hal, yang sama saja sebenarnya soal sikap KPU yang baru kan hanya mensyaratkan mundur sebelum masuk DCT," pungkasnya.

Baca: Final, KPU Tak Masukkan Nama OSO dalam Surat Suara Pemilu 2019 


Editor: Kurniati

  • bawaslu
  • KPU
  • DCT Pemilu 2019
  • DPD
  • OSO
  • Pemilu 2019

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!