BERITA

Kuasa Hukum KNPB: Kapolres Timika Belum Baca Putusan MK Soal Makar

Kuasa Hukum KNPB: Kapolres Timika Belum Baca Putusan MK Soal Makar

KBR, Jakarta- Kuasa hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Veronica Koman mempertanyakan dasar pengenaan pasal makar terhadap sembilan aktivis KNPB. Menurutnya, tuduhan makar yang disangkakan Kepolisian Resor Timika, Papua, itu tidak berdasar. Sebab, pada 31 Desember 2018 lalu, mereka hanya berencana ibadah dan adat bakar batu di kantor Sekretariat KNPB. 

Namun, kemudian polisi dan TNI datang menduduki, mengambil alih kantor. Polisi, kata dia, juga membongkar papan nama organisasi. 

"Jadi Yanto dan delapan orang dipanggil sebagai saksi untuk dimintai keterangannya terkait dugaan makar yang terjadi pada tanggal 31 Desember 2018. Pada tanggal 31 Desember 2018 itu hanya ada rencana ibadah dan ada acara makan-makan adat bakar batu. Nah, jadi makannya saya juga bingung, ini acara ibadah sama adat, bagian mananya yang makar. Karena makar batu itu sendiri saja sudah ada ratusan tahun. Nah, jadi saya juga bingung kan makarnya di mana," kata Veronica saat dihubungi KBR, Senin (7/1/2019).

Veronica menjelaskan, hari ini Polres Mimika kembali memeriksa empat aktivis KNPB dengan tuduhan tindak pidana makar. Sementara delapan aktivis lainnya juga diperiksa pada akhir tahun lalu dengan tuduhan yang sama. Ia menilai, Kapolres Mimika Agung Marlianto belum membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pasal makar. 

"Kapolres Mimika jelas belum baca putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 31 Januari 2018, yang mana MK menegaskan kepada aparat penegak hukum supaya tidak sembarangan menggunakan pasal makar untuk membungkam demokrasi," terang Veronica.

Veronica menegaskan, pihaknya sudah melayangkan somasi ke Kapolres Mimika Agung Marlianto, atas serangkaian tindakan pelanggaran yang dilakukan. Somasi itu sudah dilayangkan sejak 3 Januari 2019 lalu. Namun, menurutnya, pihak Polres Mimika mengaku belum menerima surat somasi itu. 

"Belum terima somasi, baik kalau begitu kalau sedianya diterima baik melalui pos karena kan tiba besok (8/1) jadi tidak apa-apa kami tunggu. Kalau memang nanti sudah diterima via pos dan dalam tiga hari aparat tidak keluar dari pekarangan sekretariat KNPB. Tim kuasa hukum akan tetap lanjut dengan baik pidana, perdata, maupun prosedural terhadap kepolisian," kata Veronica saat dihubungi KBR, Senin (7/1/2019).

Sebelumnya, Kepolisian  Mimika menduduki  kantor Sekretariat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika di kompleks sosial Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (31/12/2018). Dari sejumlah foto yang diterima KBR, anggota Polisi menyertai pendudukan ini dengan aksi vandalisme berupa slogan "NKRI Harga Mati" menggunakan cat semprot, membongkar papan nama organisasi pembebasan Papua Barat (UMLWP) dan memulas dinding putih dengan cat merah hingga membentuk gambar bendera Merah Putih.

Dalam operasi ini, aparat dituding melakukan tindak kekerasan terhadap sejumlah orang. Padahal menurut Wakil Ketua KNPB, Yanto Awekion, warga hendak melakukan ibadah ketika Polisi dan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) merangsek ke kantor KNPB. Kata dia, ada 10 orang yang dipukul dan ditendang. 

"Mereka melarang kami melakukan kegiatan ibadah. Karena ibadah yang kami lakukan mengancam negara. Itu menurut pihak TNI-Polri," ungkap Yanto kepada KBR melalui sambungan telepon, Rabu (2/1/2019).

Kegiatan peribadatan di sekretariat KNPB Timika, menurut Yanto, sudah direncanakan dengan matang. Mereka bahkan telah melayangkan surat pemberitahuan kepada Kepolisian lantaran melakukan kegiataan yang melibatkan banyak orang. Namun ibadah yang sedianya dilakukan pukul 11.00 waktu Indonesia bagian Timur (WIT) itu berantakan ketika pasukan gabungan tiba.

"Tiba-tiba pihak keamanan dipimpin oleh Kapolres Timika datang, mengacaukan kegiatan kami dengan penyerobotan kantor," katanya.

Polisi menangkap enam anggota KNPB, termasuk Yanto. Ketika diwawancara KBR, Yanto mengaku masih merasa sakit pada bagian rusuk. 

"(Ketika penangkapan) kami sempat melakukan perlawanan baku tarik. Mereka tendang bagian rusuk saya. Teman saya dipukul dan diinjak," ungkapnya geram.

Mereka ditahan lebih dari 24 jam sejak Senin (31/12/2018) pukul 08.00 WIT hingga Selasa (1/1/2019) sekitar pukul 16.00 WIT. Selama ditahan, Yanto mengaku tidak mendapat asupan makanan. Saat penahanan pula mereka dipaksa Polisi menandatangani surat pernyataan.

"Kami dibebaskan setelah kami dipaksa Kasatreskrim menandatangani surat pernyataan. Kami dipaksa untuk harus mencintai NKRI. Kedua kami tidak boleh terlibat dalam setiap aktivitas perjuangan," jelasnya. 

Dalam proses pembebasan itu, Polisi bahkan menuduh Yanto menyebarkan surat edaran bernada provokasi melalui aplikasi WhatsApp. Yanto menjelaskan, surat yang tidak pernah dia buat namun mencantumkan namanya itu berisi pernyataan bahwa TNI-Polri telah melakukan pembunuhan di atas tanah Papua.

"Surat itu bukan kami yang buat," tegasnya. 

Editor: Sindu Dharmawan

  • Komite Nasional Papua Barat
  • KNPB
  • Polres Timika
  • Veronica Koman
  • Papua

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!