HEADLINE

Terancam Digusur Polisi, Warga Kapuk Poglar Gagal Bertemu Gubernur Anies

Terancam Digusur Polisi, Warga Kapuk Poglar Gagal Bertemu Gubernur  Anies

KBR, Jakarta- Puluhan warga Kapuk Poglar RT07/RW04, Cengkareng, Jakarta Barat, mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencari solusi atas konflik lahan tempat tinggal mereka dengan kepentingan Polda Metro Jaya. Mereka mendatangi Balai Kota, Jakarta Pusat, Jumat (26/1), dengan tujuan menjelaskan permasalahannya ke Anies.

Namun hal tersebut tidak terjadi. Anies tidak menemui mereka yang sudah berunjuk rasa di depan Balai Kota sejak pagi. Perwakilan mereka, Ketua RT07/RW04 Encu Sunardi, mengatakan  akhirnya hanya bisa mengajukan surat permohonan audiensi dan menyerahkan berkas permasalahan melalui bagian pengaduan di Balai Kota.


"Kami sangat menyayangkan sekali. Dengan kedatangan kami, warga Kapuk Poglar, ingin menyuarakan hak kepada Bapak Gubernur. Mereka bisa berdialog dengan kami. Harapan kami, di sinilah tumpuan kami. Karena memang sudah mengkhawatirkan sekali. Tanggal 8 Februari itu sudah semakin dekat. Mereka sangat khawatir dengan rencana eksekusi oleh Polda Metro Jaya," kata Encu kepada KBR.


Menurut Encu, Gubernur Anies harus bertanggungjawab kepada warga Kapuk Poglar terkait rencana penggusuran lahan oleh Polda Metro Jaya. Sebab, dia melanjutkan, rencana tersebut mengakibatkan tindakan intimidasi dari polisi kepada warga. Bentuknya, polisi kerap datang bergerombol ke wilayah warga dengan menggunakan pakaian lengkap dan senjata laras panjang.


Kuasa hukum warga dari LBH Jakarta, Charlie Albajili mengatakan, bentuk intimidasi tidak hanya itu. Lebih dari 600 warga di lahan seluas 15.900 meter persegi itu sudah tidak menerima air bersih sejak  2016. 


"Penyetopan air bersih oleh Palija dilakukan, setelah Polda Metro Jaya menerbitkan somasi pertama," kata Charlie.


Dia menjelaskan, polisi sudah memberikan surat somasi sebanyak tiga kali kepada warga yang menyatakan bahwa Polda Metro Jaya akan mendirikan asrama kepolisian di sana. Dua surat somasi terbit di akhir  2016, dan somasi ketiga muncul di akhir 2017.


Setelah somasi tersebut, polisi memasang spanduk permintaan kepada warga untuk segera mengosongkan kawasan tersebut. Charlie menegaskan, Polda seharusnya memikirkan hak-hak warga. Masyarakat tidak boleh merasa terancam karena adanya konflik lahan di sana.


Selain   mengabaikan hak warga, Charlie mengatakan, Polda sepatutnya mengikuti prosedur yang berlaku. Menurutnya, yang berwenang melakukan eksekusi penggusuran adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Satuan Polisi Pamong Praja, bukan polisi.


"Sampai saat ini warga bahkan belum menerima surat peringatan dari Pemprov," kata Charlie.


Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu mengaku, belum mengetahui masalah di Kapuk Poglar. Dia menegaskan bahwa Polda belum berkoordinasi dan Gubernur Anies pun belum memerintahkan Satpol PP untuk menggusur warga di sana pada 8 Februari 2018.


"Yang mau gusur siapa? Dan apa yang mau digusur? Ke saya belum ada (laporan)," kata Yani melalui pesan singkat kepada KBR.


Gubernur Anies pun belum bisa menjelaskan rinci mengenai masalah lahan di Kapuk Poglar. Dia mengatakan, akan mempelajari masalahnya terlebih dahulu.


"Itu di mana? Kapuk Poglar, ya? Jakarta Barat? Nanti dicek dulu," kata Anies, saat hendak melakukan ibadah Shalat Jumat di Masjid Balai Kota.


Masalah status lahan


Ketua RT07/RW04 Encu Sunardi mengungkapkan, seluruh warga hidup dalam kecemasan semenjak ada rencana penggusuran oleh polisi pada 8 Februari mendatang. Padahal, warga sudah hidup di sana secara turun temurun sejak sekitar  1970. Mereka mengurus lahan di sana mandiri, tanpa kontribusi dari pihak manapun, termasuk kepolisian.


"Kami jelas tinggal di sana bertahun-tahun. Lalu jelas, dari zaman tempat itu berupa rawa, kami tidak pernah dapat sekarung pasir atau sekarung semen pun. Tidak ada kontribusi dari Polda untuk pengurukan dan lain sebagainya," kata dia.


Encu menjelaskan, pemilik lahan yang sah bernama Ema Sarija. Ema adalah pemegang girik di sana. Sejak   1970-an, warga mendapat izin untuk menempati dan mengurus lahan tersebut.


"Tidak pernah ada pembicaraan bahwa itu adalah tanah Polda," kata dia.


Namun pada tahun 1994, Encu melanjutkan, Polda Metro Jaya mengklaim memiliki sertifikat hak pakai. Karena dasar itu, Polda ingin membangun asrama kepolisian. Namun rencana tersebut tidak terealisasi karena ada penolakan.


Pada 1997, polisi kembali mengklaim tanah di sana, tetapi kembali gagal. Penyebabnya, ahli waris, yaitu cucu dari pemilik girik, memberikan pernyataan tersurat bahwa telah mengizinkan warga menempati lahan tersebut.


Tidak selesai sampai di situ, polisi kembali berusaha menguasai lahan mereka pada 2002. Namun karena warga meminta bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Komnas HAM, rencana pembangunan asrama polisi di sana gagal lagi.


Upaya terbaru terjadi pada tahun 2016. Polda Metro Jaya, melalui Polsek Cengkareng, menerbitkan undangan kepada warga untuk menyosialisasikan penggusuran dan rencana pembangunan asrama polisi.


Karena warga menolak, polisi melayangkan surat peringatan pada 11 Oktober 2016, 28 Oktober 2016, dan 23 Desember 2017. Rentang waktu yang panjang dari surat peringatan kedua ke surat peringatan ketiga, Encu menjelaskan, karena ada proses persidangan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.


Persidangan tersebut karena adanya gugatan dari sejumlah pengusaha yang juga mendapat izin menggunakan lahan di Kapuk Poglar. Mereka menggugat karena keberatan dengan klaim kepolisian mengenai kepemilikan lahan tersebut.


Itulah awal mula polisi menerbitkan spanduk pengusiran di sana dan melakukan tindakan intimidatif. Namun Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono menolak bila pihaknya disebut telah melakukan intimidasi. Dia juga mengklaim bahwa Polda memiliki Sertifikat Hak Milik lahan seluas 15.900 meter persegi, bukan sekadar Sertifikat Hak Pakai.


"Intimidasi gimana? Kita masih tahap somasi. Kan kita punya SHM kok," kata Argo kepada KBR melalui sambungan telepon, Rabu (24/1).


Sementara, Encu menegaskan, warga menolak permintaan polisi untuk pindah dari tanah yang selama puluhan tahun mereka tempati, karena belum ada kejelasan status hukum mengenai lahan dari pengadilan.

"Apalagi tidak ada pembicaraan mengenai nasib kami bila kami tergusur," kata dia.

Bukan hanya kepada Pemprov DKI Jakarta, warga Kapuk Poglar sudah mengadukan masalah tersebut ke banyak lembaga, di antaranya Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Encu bahkan mengaku sudah mengirim surat ke Istana Presiden.

Sementara itu Juru Bicara Kepolisian Jakarta   Argo Yuwono mengatakan, mulai tahun ini Polda akan membangun Rumah Susun untuk anggota Polda di lahan kawasan Kapuk Poglar, Cengkareng, Jakarta Barat.

"Anggota Polda kan banyak yang belum punya rumah, banyak yang kontrak, banyak yang berkeluarga tapi belum punya asrama, kita buat rumah susun di sana (Kapuk Poglar) untuk anggota Polda," terang Argo di Main Hall Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (26/1/18).


Argo melanjutkan, "Bahwa yang penting kita punya sertifikat itu sah untuk tanah itu. Kita ngasih somasi ke mereka (warga)."


Argo mengungkap, bahwa kasus tersebut sudah disidang perdata. Dari keputusan pengadilan, sertfikat Polda Metro Jaya adalah sah. Karena menurut Argo, wilayah Kapuk Poglor itu dulu hanya diperuntukkan lahan garapan warga, bukan ditempati sebagai tempat tinggal.


"Dulu kan disuruh garap dari pada kosong. Kemudian tanah itu dari yang garap, kemudian dikasihkan ke orang lain, ke orang lain, kan di situ (masalahnya)," ujar Argo. "Dia (warga) mempunyai cuma surat garapan saja," imbuhnya. 


Editor: Rony Sitanggang

  • konflik lahan
  • Kapuk Poglar
  • Gubernur Jakarta Anies Baswedan
  • Argo Yuwono

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!