BERITA

Izinkan Ekspor Konsentrat, Koalisi Ajukan Uji Materi PP

""Tidak ada alasan apapun pemerintah untuk memberikan relaksasi, tidak ada alasan apapun secara hukum, dalam konteks pemegang IUP dan IUPK."

Izinkan Ekspor Konsentrat, Koalisi Ajukan Uji Materi PP
Ilustrasi: Pengolahan biji tambang Freeport. (Foto: Antara)


KBR, Jakarta- Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam menyebut Permen ESDM No. 5 dan 6 tahun 2017 melanggar UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batu Bara (UU Minerba). Itu sebab, 20 organisasi lingkungan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).  Koalisi menilai dua permen ESDM hanya melanggengkan jual beli tanah air atau mineral di Indonesia.

Pakar Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menilai pasal 102, dan 103 UU Minerba tegas mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melakukan pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri. Sedangkan pada pasal 170 UU Minerba menyebut seluruh pemegang kontrak karya seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya  sejak UU Minerba diundangkan, yakni tahun 2014. Sehingga, kata Redi jelas, Permen ESDM tersebut batal demi hukum.


"Pasal 102 dan 103 itu konstitusional. Sehingga tidak ada alasan apapun pemerintah untuk memberikan relaksasi, tidak ada alasan apapun secara hukum, dalam konteks pemegang IUP dan IUPK. KK juga jelas itu ada di pasal 107,"ujarnya di Jakarta, Rabu (18/1/2017)


Ahmad Redi juga menyebut permen merupakan langkah mundur dari pemerintah. Pelonggaran ekspor  mineral justru akan memicu eksploitasi sumber daya alam secara masif. Artinya, kerusakan lingkungan akan semakin besar dan luas.


Ahmad memperkirakan berkas uji materi akan dikirimkan ke MA pekan depan. Saat ini, koalisi tengah mematangkan tanggapan dari para ahli hukum SDA.


"Kami juga menyampaikan pandangan ahli, misalnya ahli hukum, dokter hukum. kami ingin menyertakan keterangan tertulis mereka. Dan nanti akan disertakan dalam dokumen," katanya.

Penerimaan Negara

Kementerian Keuangan menyatakan terdapat potensi penambahan penerimaan negara yang dapat ditarik dari perusahaan pemegang izin kontrak karya (KK) setelah diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan, kementeriannya sudah menghitung potensi penambahan penerimaan negara tersebut. Meski begitu, kata Suahasil, potensi tambahan penerimaan itu tak signifikan.


"Maksimal 10 persen, masih kami diskusikan lagi layer-nya seperti apa. Sudah mulai diskusi. Kan maksimal 10 persen, artinya bisa 10 atau di bawah itu. (KK ke IUPK, ada potensi pengurangan penerimaan?) Enggak ada, sudah kami hitung. Malah akan ada penambahan sedikit kalau kita pakai datanya Freeport. Akan ada peningkatan penerimaan negara. (Dari mana?) Macam-macam. Perubahan pajaknya kan macem, enggak simpel dia. Rumit. (Berarti mereka bayar lebih mahal?) Mahal, sedikit, kecil," kata Suahasil di Gedung DPR, Rabu (18/01/17).


Suahasil mengatakan, tambahan penerimaan negara itu berasal dari tambahan pajak karena status IUPK perusahaan. Dia mencontohkannya dengan PT. Freeport yang setelah berstatus IUPK, bakal dikenai pembagian dividen kepada negara, penambahan pajak pertambahan nilai (PPN) dari yang awalnya 5 persen menjadi 10 persen. Meski begitu, pajak penghasilan (PPh) Freeport akan berkurang, dari yang awalnya membayar 35 persen, menjadi 25 persen, Mengenai hasil penghitungan tersebut, Suahasil enggan menyebutkannya.


Suahasil berujar, saat ini ada tiga layer bea keluar, yakni 0 persen, 5 persen, dan 7,5 persen, tergantung dari capaian pembangunan lokasi pemurnian mineral atau smelter. Ketentuan yang berlaku saat ini, untuk perusahaan dengan capaian smelter 0 sampai 7,5 persen bakal dikenai bea keluar 7,5 persen, capaian 7,5 sampai 30 persen akan dikenai bea keluar 5 persen, sedangkan capaian smelter di atas 30 persen, tak akan dikenai bea keluar.


Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyatakan tujuan utama merevisi ketentuan ekspor konsentrat mineral dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2017, yang merupakan revisi dari PP nomor 1 tahun 2014, adalah untuk meningkatkan penerimaan negara. Kata Jonan, setelah penerapan PP nomor 1 tahun 2017 ini, dia akan bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk merevisi bea keluar untuk mineral yang diekspor. Dia menargetkan, tarif bea keluar itu maksimal 10 persen, dari yang yang saat ini berlaku 5 persen.

Editor: Rony Sitanggang

 

  • Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara
  • PP ekspor mineral
  • Pakar Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!