BERITA

Soal Konflik Agraria, Pemerintah Dituding Abai

"Penanganan konflik agraria di Indonesia hingga kini masih jalan di tempat. DPR mencatat, ada delapan ribuan sengketa agraria yang mangkrak alias belum terselesaikan. Bahkan ribuan sengketan itu diantaranya melibatkan Kementerian Kehutanan."

Dimas Rizki

Soal Konflik Agraria, Pemerintah Dituding Abai
Konflik Agraria, Pemerintah, Abai

KBR68H, Jakarta – Penanganan konflik agraria di Indonesia hingga kini masih jalan di tempat. DPR mencatat, ada delapan ribuan sengketa agraria yang mangkrak alias belum terselesaikan. Bahkan ribuan sengketan itu diantaranya melibatkan Kementerian Kehutanan.

Salah satunya dialami kelompok tani di Labuan Batu Utara, Sumatera Utara, yang bersengketa sejak pertengahan tahun 90an. Muslim Batubara, salah satu anggota kelompok tani menyatakan, hingga kini belum ada komitmen dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan Muslim menyatakan rumitnya birokrasi juga menghambat penyelesaian sengketa agraria di sana.

Dia bercerita, awalnya pemerintah telah menetapkan kawasan di sana termasuk kawasan hutan. Lantas, masyarakat mengikuti arahan pemda dalam mengelola hutan tersebut. Namun, lahan hutan yang mereka kelola diakui perusahaan sawit, PT Sawita Leidong Jaya. Dalam perkembangannya kemudian, kelompok tani mengirim surat kepada pejabat daerah dan Kementerian Kehutanan, sekitar setahunan lalu.

Dalam surat itu kelompok tani meminta agar permasalahan mereka diselesaikan dengan cara administrasi. Artinya perusahaan sawit yang mengklaim tanah mereka, harus segera menghentikan segala upaya untuk menyabot lahan warga. Namun, kata dia, Kemenhut hanya mau menyelesaikan persoalan itu jika sudah mendapat rujukan dari pemerintah daerah. Padahal aku Muslim, bupati setempat sudah mengeluarkan surat untuk diberikan kepada Kemenhut. Dan, ternyata tak ada kejelasan di mana surat itu berada. Bahkan pemda juga telah mengingkari hasil rapat DPRD Labuan Batu.

Pemerintah Dituding Abai


Segala cara telah kelompok tani lakukan, termasuk mengadu ke DPRD setempat. Muslim Batubara melanjutkan hasil rapat dengar pendapat di DPRD menghasilkan putusan pemda setempat harus menyelesaikan sengketa dalam waktu tiga bulan. “Tapi hingga saat ini, sudah empat bulan kasus ini belum juga tuntas,” katanya.

Dia juga mengaku heran lantaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) memastikan perusahan Leidong Jaya tak miliki sertifikat pengelolaan hutan. Muslim menduga ada permainan dari Dinas Kehutanan setempat terkait hal ini. “Ada perusahaan lainnya yang juga berdiri di hutan yang bersengketa saat ini,” imbuhnya.

Apa yang dialami Muslim dan kelompok tani Labuan Batu juga dialami di daerah lainnya. Sebut saja kasus di Indramayu Jawa Barat. Di sana warga menolak pembangungan Waduk Bubur Gadung. Warga beralasan, waduk itu menyerobot tanah garapan petani. Bahkan terjadi bentrok ketika petani berunjukrasa. Malah, ada diantaranya yang divonis bersalah karena dianggap sebagai provokator.

Tanggapan BPN


Soal ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, setiap lembaga/kementerian mempunyai tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Juru bicara BPN, Gunawan mengatakan pihaknya tidak mengurusi persengketaan lahan di dalam hutan. Karena itu ujarnya, permasalahan yang dialami Muslim Batubara hanya bisa diselesaikan oleh Kementerian Kehutanan.

BPN kata dia, hanya menyelesaikan masalah di luar areal perhutanan. “Kalau masuk kawasan hutan, kewenangan Kementerian Kehutanan. Kecuali jika sudah melepaskan menjadi kawasan budi daya, itu wilayah kami,” ujarnya.

Sementara itu terkait pelepasan kawasan hutan untuk mendapatkan sertifikat, memang menjadi urusan BPN. Namun Gunawan menegaskan harus ada surat keputusan dari Menteri Kehutanan. Tak hanya itu, lampiran pun juga harus disertai keterangan dari lurah-camat atau perangkat desa, yang berlanjut pengecekan tata ruang.

“Semua itu harus dilalui agar tidak terjadi masalah dikemudian hari. Dan yang pasti, harus jelas peruntukannya,” tambah Gunawan.

Permasalahan lain yang bisa dihadapi adalah persoalan terkait pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU). Gunawan mengatakan permasalahan yang kerap terjadi adalah perusahaan tidak memaksimalkan tanah yang telah diberi HGU hingga bertahun-tahun. Sebaliknya, jika HGU sudah berakhir, tak lantas langsung dimiliki masyarakat. Pasalnya bagi mereka yang memiliki hak HGU, bakal mendapatkan hak prioritas untuk mengurusi kembali sertifikatnya.

Dia melanjutkan, dengan banyaknya kasus agraria juga disesuaikan dengan tupoksi masing-masing lembaga/kementerian. Lebih lanjut dia mengusulkan agar segala persengketaan, diselesaikan dengan musyawarah untuk mendapatkan win-win solution. “Kami berpendapat dengan penyelesaian masalah seperti ini, bisa lebih cepat,” ujarnya. Pasalnya kata dia, BPN tak punya kewenangan memutus dalam sengketa pertanahan ini. Sementara jika diselesaikan lewat pengadilan akan memakan waktu lama.

Editor: Anto Sidharta

  • Konflik Agraria
  • Pemerintah
  • Abai

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!