BERITA

Pegiat Sastra Galang Petisi Boikot Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Pegiat Sastra Galang Petisi Boikot Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

KBR68H, Jakarta - Terpilihnya Denny JA sebagai sastrawan berpengaruh menuai polemik. Betapa tidak, Denny yang lebih dikenal sebagai 'tukang survei' mendadak dinobatkan sebagai sastrawan berpengaruh di Indonesia. Lewat puisi esainya, nama Denny bersanding dengan Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan sederet nama sastrawan besar lainnya.

Yang mengherankan nama sekelas Seno Gumira Ajidarma tidak dipilih juri sebagai sastrawan berpengaruh. Tidak jelas mengapa pria brewok itu tidak dipilih. Padahal pengaruh karya Seno Gumira dinilai jauh lebih luas dampaknya ke masyarakat.

Untuk membahas masalah ini, penyiar KBR68H Sutami dan Rumondang Nainggolan berbincang dengan kritikus dan pegiay sastra Dwi Cipta dalam program Sarapan Pagi

Anda termasuk kelompok yang kaget dengan pilihan 33 sastrawan berpengaruh ini?

Iya kaget tapi lebih banyak tidak sepakatnya daripada kagetnya.

Tidak sepakatnya karena apa saja?

Pertimbangan isi atau pengantar yang ditulis oleh Tim 8 ini menurut saya sangat ngawur. Pertama konsepnya tidak jelas, konsep tokoh sastra paling berpengaruh itu abstrak ukurannya. Kalau misalnya yang dipilih itu karya sastra berpengaruh itu menurut saya ukurannya jelas, tapi kalau orang itu bisa sangat banyak sekali parameternya dan itu membingungkan orang. Kedua, dasar argumentasi yang dibangun oleh Tim 8 dalam pemilihan atau parameternya sangat lemah, rentang waktu 1 abad lebih yang dijadikan acuan oleh Tim 8 ini menurut saya terlalu terburu-buru menentukan 33 nama yang dianggap paling berpengaruh. Karena kita harus melihat banyak sekali tokoh, kita melihat banyak sekali pengaruh mereka. Kemudian di bagian pengantar menurut saya juga sangat berpengaruh, karena di situ Tim 8 menyusun bahwa sastra Indonesia itu lahir seiring dengan pergerakan kebangsaan Indonesia dan para sastrawan itu melakukan kritik terhadap pemerintahan kolonial. Saya mengutip dengan jelas di sini pengantarnya bahwa ditulis baik pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang memahami dengan baik potensi dan peran strategis kesusastraan bagi sebuah bangsa. Mereka menyadari bahwa kesusastraan itu penting bagi kelangsungan penjajahan maka mereka sadar dan terprogram mendirikan Komisi Bacaan Rakyat dan Balai Pustaka itu di zaman Belanda, terus di zaman Jepang mereka mendirikan Keimin Bunka Shidoso. Dalam daftar 33 nama orang paling berpengaruh itu ada dua orang yang bermasalah menurut saya, pertama Marah Rusli lewat karya Siti Nurbaya itu diterbitkan oleh Balai Pustaka dan kedua Sutan Takdir Alisjahbana dia anggota Keimin Bunka Shidoso, saya punya datanya itu. Itu menjadi antek-antek kolonial dengan kata lain, sementara kita sudah jelas ini sastrawan yang paling berpengaruh di Indonesia, sastrawan ini katanya berjalan seiring dengan pergerakan nasionalisme Indonesia, dan lain-lain jadi dimana mereka harus mempertanggungjawabkan itu.

Buku sudah terbit tapi sebenarnya apa pengaruh dari buku ini terhadap dunia sastra Indonesia?

Pertama yang paling jelas buku ini menghadirkan sesat pikir bagi pembaca sastra, pelaku sastra, bahkan publik sastra Indonesia secara luas. Bayangkan kalau buku ini dibagi, karena buku ini diterbitkan Gramedia dan kita tahu sebuah raksasa penerbitan. Kalau buku ini diakses di seluruh sekolahan masuk ke perpustakaan, masuk berbagai perpustakaan komunitas, dibaca anak-anak yang baru belajar mereka akan tahu bahwa ini yang paling berpengaruh. Sementara yang lain katakanlah Seno Gumira Ajidarma, kalau di Yogyakarta dari tahun 60’an sampai 70’an ada Umbu Landuh Paranggih pengaruhnya menurut saya jauh lebih besar dan mereka tidak kenal itu, itu satu. Kedua, buku ini seandainya nanti punya konsekuensi akan dibawa ke pameran buku internasional di Frankfurt dan diterjemahkan ini juga akan menghadirkan sesat pikir bagi pemerhati sastra Indonesia di luar negeri yang tidak punya cukup pengetahuan tentang sastra Indonesia, ini memalukan. Ketiga, saya membaca beberapa bagian atau esai yang ditulis di sini misalnya Ahmad Gaus dia menulis tentang Afrizal dan menurut saya sama sekali dia tidak memahami Afrizal. Itu tulisan ngawur semua bahkan datanya menurut teman saya itu diambil hanya dari blog, dia tidak membaca puisi-puisi Afrizal. Saya membaca sebagian besar buku Afrizal. Apa jadinya kalau buku semacam ini dibaca oleh orang-orang yang hanya punya pengetahuan terbatas tentang sastra Indonesia, dia akan mengalami sesat pikir, dia akan memahami sastra Indonesia secara salah dan itu berbahaya.

Terkait juga dengan kontroversi nama Denny JA di sana. Kalau menurut Anda seperti apa sebenarnya pengaruhnya di dalam dunia sastra Indonesia?

Nama Denny JA menurut saya panitia ini menentukan tiga alasan kenapa karya penulis Indonesia ini masuk ke dalam buku ini. Kedua mereka punya empat parameter, menurut saya Denny JA ini hanya masuk di parameter kontroversial. Pada level yang lain-lain dia tidak masuk, dia hanya punya satu karya dan karya itu dilegitimasi oleh sekian banyak kritikus yang bisa dia beli dengan uang. Saya tidak mempermasalahkan perang kapital dan ambisi sosial seorang penulis dalam sastra Indonesia. Tapi sampai sejauh mana peran kapital dan ambisi sosial itu bertemu dengan ideal-ideal sastra. Para kritikus seperti Maman Mahayana, Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor mereka yang sudah tahu prinsip ideal sastra punya parameter tersendiri bahkan harus menundukkan ideal-ideal sastranya hanya untuk melegitimasi seorang Denny JA di dalam tokoh sastra paling berpengaruh. Ini kalau dalam terminologi Julien Benda itu sudah masuk mereka itu ke dalam kategori para intelektual pengkhianat.

Lantas langkah bersama teman-teman apa? apakah akan menerbitkan satu buku tandingan?

Saya bersama teman-teman hari ini mungkin akan meluncurkan petisi untuk memboikot buku itu, satu. Kedua menghimbau kepada penerbit Gramedia untuk menarik buku itu karena buku itu menghadirkan sesat pikir, menghadirkan pembodohan. Kami tidak peduli apakah Gramedia itu rugi atau tidak dengan itu tapi pada kepentingan khalayak sastra yang lebih luas itu akan merugikan. Sehingga kami menghimbau kepada penerbitnya supaya menarik buku itu, kalau tidak kami akan memboikot itu dan berusaha melawan penyebaran buku itu. Kalau soal bikin buku tandingan atau  yang lain kita bisa membikin dan banyak sekali institusi bisa membikin. Sepanjang parameter alasan pembikinan itu dari konsep bukunya sampai ke parameternya jelas menurut saya itu sah.
 
Petisi yang diluncurkan hari ini sudah cukup banyak yang menandatanganinya?

Kami baru mengkonsep, jadi kemungkinan petisi itu akan keluar nanti sore kalau tidak ada halangan. Sudah jadi dan kami sudah berkoordinasi dengan banyak sekali teman-teman yang peduli sastra sebagian besar memang tidak sepakat dengan buku itu. 


  • petisi
  • pegiat sastra
  • denny ja

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!