ASIACALLING

Biksuni Korea Selatan Jadikan Makanan Kuil Mendunia

Biksuni Jeong Kwan. (Foto: Jason Strother)

Seorang biarawati Buddha di Korea Selatan membuat makanan kuil vegetarian jadi mendunia.

Resep dan filosofi kulinernya telah mempengaruhi koki dan pecinta makanan di seluruh dunia. Tapi, koki selebriti ini tetap mempertahankan hubungan dengan akar spiritualnya.

Koresponden Asia Calling KBR, Jason Strother, mengunjungi Biksuni Jeong Kwan di kuil yang terletak di pegunungan, 270 kilometer selatan Seoul.

Ketika saya tiba di kuil Baekyangsa di Provinsi Jeolla Selatan, saya disambut dengan hujan yang mengucur dari atap genteng.

Biksuni Jeong Kwan sedang menunggu saya di depan biara Chungjinham. Seperti semua biksu dan biksuni Buddha, kepala Jeong Kwan dicukur bersih.

Hari itu dia memakai jubah abu-abu dan terlihat seperti seorang nenek. Tapi dia tidak mau mengatakan berapa umurnya karena baginya umur sekedar angka-angka.

Biksuni ini telah tinggal di kuil sejak berusia 17 tahun dan sudah memasak lebih lama dari itu. Dia merasa mempunyai hubungan spiritual dengan makanan yang dia siapkan.

“Manusia itu seperti biji. Anda menanam benih di tanah dan tumbuh. Sama seperti kita yang berasal dari tubuh ibu kita. Ini cara kita semua terhubung dengan alam semesta. Alam butuh waktu untuk menumbuhkan semua hal. Saya bisa menjadi mentimun, saya bisa jadi kubis dan saat memasak, saya menjadi bahan-bahan itu,” tutur Jeong.

Jeong Kwan banyak mengunakan istilah spiritual Buddha yang agak sulit saya cerna. Tapi perspektif makanan dan kehidupan inilah yang menjadikannya selebriti, koki filsuf.

Tahun lalu, Jeong Kwan tampil dalam serial dokumenter Netflix, The Chef's Table. Sekarang pecinta makanan dari luar negeri datang berziarah ke Baekyangsa untuk belajar darinya.

Tapi Jeong Kwan mengatakan status selebriti barunya tidak membuatnya berubah. Biksuni yang utama baru koki.

Di dalam tempat suci, Jeong Kwan menunjukkan kepada saya cara berdoa di depan patung Buddha yang besar. Dia bilang tidak ada perbedaan antara bermeditasi di sini atau memasak di dapur.

“Bagi saya, memasak seperti berdoa. Saat masuk dapur, saya masuk tanpa pikiran. Sama seperti saya membungkuk kepada Buddha. Saya hanya berkonsentrasi pada diri sendiri dan apa yang sedang saya lakukan pada saat itu. Saya berharap mereka yang menyantap masakan saya merasa bahagia dan damai,” tutur Jeong.

Dapur kata Jeong Kwan adalah tempat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Berdiri di depan kompor, dia sedang menyiapkan sup rumput laut. Di sampingnya ada mangkuk-mangkuk yang berisi kimchi atau asinan sayur potong dadu, kesemek dan mie.

Semua bahan ditanam di atau dekat halaman kuil.

Tidak seperti banyak masakan Korea yang sangat bergantung pada garam, pasta lada dan saus lainnya, Jeong Kwan mengatakan masakannya lebih sederhana.

“Ini seperti jika Anda memakai terlalu banyak riasan, Anda jadi tidak merasa bebas. Jadi saat saya memasak, saya menghindari memakai terlalu banyak saus atau bumbu. Saya ingin memaksimalkan rasa asli bahan-bahannya. Saya mencari rasa emosional dari sayuran,” katanya.

Dia bilang Anda perlu mencicipi makanan dengan seluruh tubuh Anda. Tapi kebanyakan orang tidak mengerti apa yang mereka masukkan ke dalam mulut dan ini berdampak dengan cara yang tidak pernah Anda kira.

“Akhir-akhir ini banyak orang makan makanan cepat saji, terutama mereka yang tinggal di kota. Saat Anda memekannya, pikiran Anda juga terburu-buru. Itu membuat Anda marah atau kasar. Saya pikir dengan memakan makanan tradisional, itu akan mengubah Anda, tapi dengan cara yang positif,” ujar Jeong.

Dan Jeong Kwan mengingatkan jangan memasak disaat marah. Ini akan meracuni makanan dan akan membuat orang-orang yang memakannya juga marah.

Makan malam pun disajikan. Selain sup dan mie, juga ada rebusan kedelai, jamur shitake dan nasi yang dicampur biji-bijian.

Ini adalah makanan yang lezat. Tapi Jeong Kwan tidak menganggapnya istimewa.

Dia mengatakan makanan hanyalah bahan bakar untuk meditasi. Dia pun mengaku tidak pernah benar-benar mendambakan sesuatu.

“Semua manusia punya tiga keinginan. Keinginan untuk tidur, makan dan hidup untuk waktu yang lama. Jika Anda tidak bisa melepaskan keinginan-keinginan ini, Anda tidak akan pernah bebas atau tercerahkan. Membuang nafsu makan adalah yang paling sulit. Saya pikir jika kita semua bisa menghapus keinginan-keinginan ini, kita akan merasa lebih nyaman,” jelas Jeong.

Menghapus nafsu untuk makan? Saya rasa itu sulit dilakukan. Saya juga tidak percaya dia tidak menginginkan sesuatu dari luar kuil.

Jadi sebelum saya mengucapkan selamat tinggal kepada Jeong Kwan, saya bertanya apakah dia punya ‘guilty pleasures’ atau kenikmatan sesaat.

Dan jawabannya tidak terduga.

“Kadang kala, tidak terlalu sering, saya menikmati es krim atau cokelat. Apalagi setelah bermeditasi seharian. Saya merasa es krim benar-benar menyegarkan tubuh dan energi saya.”

Tepatnya es krim rasa vanila dan green tea tambah Jeong Kwan.

 

  • Jason Strother
  • Koki Filsuf
  • Jeong Kwan
  • Biksuni Buddha
  • Korea Selatan
  • masakan kuil mendunia
  • The Chef's Table

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!