ASIACALLING

Bantuan Kemanusiaan Berkurang, Pengungsi Burma Sulit Penuhi Kebutuhan Hidup

Berkurangnya bantuan kemanusiaan membuat pengungsi di Kachin kesulitan bertahan hidup. (Foto: Banyol

Hidup seratus ribu pengungsi di tempat-tempat penampungan di Negara Bagian Kachin makin sulit karena situasi kemanusiaan di sana memburuk.

Para pengungsi sudah tinggal di kamp-kamp itu selama lima tahun dan sangat bergantung pada bantuan lembaga internasional. 

Banyol Mon mengunjungi Negara Bagian Kachin untuk mencari tahu lebih jauh.

Ze Hkawng, 18 tahun, sedang duduk-duduk menanti hujan reda. Tak banyak yang bisa dia lakukan di sini.

Dia tiba di tempat penampungan ini saat berusia 13 tahun.

Dia masih merasa takut akan kejadian di kampung halamannya sebelum melarikan diri.

“Baku tembak terjadi saat saya tiba di rumah sepulang sekolah. Lalu saya mencari ibu di pasar dan kami pergi ke rumah saudara untuk mengungsi. Karena kalau kami pulang ke rumah, situasinya tidak aman. Beberapa teman saya bahkan jadi korban. Itu sebabnya kami takut tinggal di sana,” kisah Ze Hkawng.

Kisah seperti ini umum dialami pengungsi di Myitkyina, yang dihuni 300 jiwa.

Hari masih hujan. Sekelompok perempuan yang berjubelan di sebuah tenda sedang membuat berbagai tas untuk dijual di pasar.

 Mereka mengaku mendapat uang sekitar 26 ribu rupiah per minggu dari pekerjaan ini. 

Karena tidak banyak yang bisa dilakukan di kamp itu, memberi mereka pekerjaan dan mengasilkan sedikit uang akan lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Hkawng Naw, ibu berusia 43 tahun, juga melarikan dari pertempuran bersama keluarganya.

Dia sudah tinggal di pengungsian ini hampir lima tahun dan mengatakan situasinya makin berat.

“Pertama kali kami tiba di sini, kami punya cukup makanan, tempat berteduh dan uang. Kami menerima cukup banyak bantuan jadi hidup kami lebih baik. Tapi bantuan itu makin lama makin berkurang,” tutur Hkawng Naw. 

“Awal tahun ini makin parah karena donor hanya memberikan uang bukan bahan makanan. Kami dapat sekitar 110 ribu rupiah per bulan. Dengan uang segitu, bagaimana kami bisa bertahan hidup?”

red

Sekitar 100 ribu pengungsi di Negara Bagian Kachin belum bisa pulang ke rumah setelah pertempuran kembali terjadi antara militer, tentara kemerdekaan dan kelompok bersenjata Kachin. Pertempuran ini pertama kali terjadi pada 2011.

“Tidak ada yang punya pekerjaan tetap karena sulit dapat pekerjaan tanpa pendidikan memadai. Jadi kami menunggu majikan yang mencari pekerja kasar tapi ini tidak terjadi setiap saat,” keluh Hkawng Naw. 

Beberapa anak di pengungsian ini terpaksa putus sekolah karena harus berkerja.

Seperti Ze Hkawng yang berusia 18 tahun. Ibunya yang sudah tua tidak bisa lagi bekerja, sehingga Ze tidak punya banyak pilihan, selain meninggalkan bangku sekolah dan mencari pekerjaan.

Program Pangan Dunia PBB atau WFP adalah penyedia utama makanan di pengungsian ini. Tapi awal tahun ini mereka mengurangi jatah makanan di pengungsian di Kachin.  

Asia Calling mencoba menghubungi WFP beberapa kali untuk meminta konfirmasi tapi tidak ada tanggapan. 

Tapi sebelumnya mereka sempat menyatakan kalau organisasi itu ‘tidak bisa terus memberikan bantuan tanpa syarat.’

Tu Ja adalah ketua Partai Demokrasi Negara Bagian Kachin. Kata dia, pemerintah Burma harus berbuat lebih banyak.

Menurutnya yang pertama kali harus dilakukan adalah memulangkan pengungsi. 

“Yang penting adalah jaminan keamanan bagi pengungsi agar bisa pulang. Pertempuran harus dihentikan dan ladang ranjau milik kedua pihak di daerah mereka, harus dibersihkan. Sehingga pengungsi bisa pulang ke rumah,” kata Tu Ja.  

Liga Nasional untuk Demokrasi Burma yang memimpin pemerintahan saat ini mencoba untuk mendamaikan militer dan kelompok bersenjata etnis, dengan menyusun kesepakatan Pin-lon kedua.

Kesepakatan Pin-lon pertama dirancang Jenderal Aung San pada 1947 dan menjanjikan posisi di negara federal bagi para pemimpin etnis.

Tapi berdasarkan konstitusi, putrinya dan pemimpin NLD, Aung San Suu Kyi, tidak punya kekuasaan untuk mengontrol militer.

 

  • Banyol Mon
  • Pengungsi Kachin
  • Konflik Burma
  • perang sipil Burma

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!