ASIACALLING

Jaring laba-laba dan Seluloid: Riwayat Propaganda Masa Lalu Indonesia Kini

Pekerja film, Adit, memegang seluloid fim di Lab Laba Laba. (Foto: Nicole Curby)

Sebuah gudang tua dengan sejarah unik di Jakarta ternyata merupakan sebuah laboratorium film.

Di gudang itu, para pembuat film bekerja dengan peralatan langka yang mereka temukan di sana. Mereka mencoba menghidupkan kembali film seluloid tua,  gulungan film tua dan bereksperimen membuat film modern.

Nicole Curby bertemu dengan beberapa pembuat film dari Lab Laba Laba untuk mengetahui lebih lanjut soal proyek ini.

Ada sebuah bangunan gudang bertingkat di Jakarta Timur yang sampai beberapa waktu lalu dipenuhi laba-laba, kecoa dan tikus.

Dalam gudang dipenuhi debu dan bau bahan kimia dan cuka, aroma menyengat dari film seluloid yang rusak. Bahkan katanya ada yang percaya kalau gudang ini berhantu.

Di lantai satu gudang, peralatan pembuatan film telah dijarah sementara rol-rol film berserakan di lantai - layu akibat panas.

“Film-film yang disimpan meleleh dan kondisi filmnya juga rusak. Dan di gudang ini juga tidak ada listrik dan pendingin udara,” ungkap Anggun.

Ketika pekerja film bernama Anggun Priambodo menemukan kantor di lantai atas gudang, kondisinya tampak seperti terjebak dalam waktu ...

“Kaca, pena, buku, permen, kopi, semua masih ada. Semua orang pergi karena mungkin itu hari terakhir kerja. Majalah, koran, kertas-kertas semuany ada di meja,” tutur Anggun.

“Ya seperti ‘Ayo kita berhenti membuat film’, dan semuanya berhenti begitu saja,” timpal Adit.

Dulu gudang ini dikenal sebagai Produksi Film Negara atau PFN.

Di tempat ini, ribuan film Indonesia dan bahan propaganda diproduksi selama lebih dari tiga dekade kediktatoran Suharto. Setelah Suharto lengser, PFN juga ikut ditutup.

Tapi satu dekade kemudian, sekelompok seniman yang sedang mencari peralatan kamar gelap dan alat pembuat film, membuka paksa pintu berdebu itu sekali lagi.

Ini penjelasan pekerja film Anggun dan Aditya Martodiharjo.

“Saat itu seperti membuka sebuah pabrik propaganda. Tahun  80-an dan 90-an, Suharto menggunakan PFN untuk membantu dia untuk menyebarkan propaganda dengan audiovisual, gambar bergerak,” kata Adit.

“Kondisinya seperti museum tapi dalam keadaan rusak rusak,” tambah Anggun.

Pada tahun-tahun itu hanya ada satu saluran TV yaitu TVRI dan semua kontennya diproduksi di PFN.

Bagi jutaan orang Indonesia yang bersekolah di era 80-an dan 90-an, film-film propaganda itu ditayangkan setiap tahun di sekolah, televisi dan juga bioskop.

“Setiap tahun saya pergi ke bioskop untuk menonton film-film semacam itu. Saat itu kami masih kecil tapi kami melihat adegan pembunuhan. Saya pikir film seperti itu hanya untuk orang dewasa tapi anak SD juga harus menontonnya. Filmnya penuh adegan kekerasan dan banyak darah,” kisah Anggun.

Lewat film-film ini, sejarah versi Suharto terutama kisah bagaimana dia menjadi Presiden di tahun 1965, disebarluaskan kepada masyarakat.

Ini adalah bagian dari sejarah Indonesia yang masih hangat diperdebatkan hingga hari ini.

Menurut Aditya, Suharto mengeluarkan banyak uang dan sumber daya untuk film-film semacam ini.

“Mereka benar-benar serius dan memberikan semuanya untuk proyek ini. Ini seperti sekelompok insinyur, sutradara film dan semuanya dimasukkan ke dalam satu bangunan. Suharto benar-benar memberikan segalannya untuk film-film itu seperti anggaran dan lainnya. Ini mungkin karena dia tahu kekuatan gambar bergerak,” kaa Aditya.

Beberapa film yang dibuat di laboratorium PFN sekarang disimpan di arsip nasional.

Tapi banyak yang tertinggal dibiarkan begitu saja. Dan di negara dengan iklim tropis, film-film itu rusak dengan cepat. Dan saat itulah Lab Laba Laba masuk.

Kelompok seniman dan pembuat film eksperimental ini menggunakan gulungan-gulungan film yang mereka temukan di PFN untuk menghasilkan kreasi baru.

Beberapa menggunakan rekaman lama itu untuk mengatasi masalah propaganda dan sensor.

Sementara yang lain, seperti Aditya, menggunakan gulungan film lama untuk sesuatu yang benar-benar berbeda. 

Dengan ‘Teknik Film Langsung’, Aditya mengambil gulungan film lama, memotongnya dan menggambar di atas pita seluloid. Dia membuat animasi yang berlatar belakang cuplikan film tua.

“Mengapa kita tidak merusak beberapa arsip untuk bersenang-senang? Memang ini agak bertentangan dengan apa yang kami katakan sebelumnya soal betapa pentingnya arsip-arsip film itu,” kata Aditya. 

“Yang sudah dibuat ya sudah,  saya bisa mengambil dan membuat hal baru dengan itu. Ini lebih menyenangkan ketimbang mengambil cerita lama dan mencoba membuat orang peduli dengan hal itu. Saya lebih tertarik membuat cerita saya sendiri.”

Mereka bahkan sudah mengadakan lokakarya untuk anak-anak berumur 5 tahun. Anak-anak itu membuat animasi mereka sendiri dengan menggambar di gulungan film lama.

Tapi penemuan film-film dan propaganda lama ini tidak serta merta mengungkap beberapa sejarah gelap Indonesia.

 

  • Nicole Curby
  • Lab Laba-laba
  • Produksi Film Negara (PFN)
  • Arsip film lama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!